Berpesawat ke Luar Negeri, Makin Gemuk Makin Penuh
Sudah lama saya tidak berpergian ke Eropa. Terakhir tiga tahun lalu. Terakhir ke Swiss, Turki dan Marokko. Perjalanan panjang yang menjemukan.
Perjalanan dengan pesawat ke luar negeri sebetulnya paling menyenangkan di tahun 1990-an. Atau awal tahun 2000-an. Kok bisa? Ta. Karena saat itu penumpangnha belum banyak seperti sekarang.
Saya selalu menikmati perjalanan panjang dengan pesawat saat itu. Meski pesawatnya tidak sebesar sekarang. Paling besar Boeing 747-900. Double deck, atas bawah.
Cuma yang atas hanya separo badan. Atau malah sepertiganya. Di atas untuk kelas bisnis, bawahnya ekonomi. Belum ada First Class seperti sekarang.
Saya pernah merasakan klas bisnisnya Boeing 747. Saat berhaji dengan Saudia. Maskapai milik Arab Saudi. Yang bebas pilih kursi saat mengangkut haji reguler Indonesia.
Selebihnya ya selalu di klas ekonomi. Meski perjalanan sangat jauh. Ke Amerika sekalipun. Yang ditempuh puluhan jam.
Kursi kelas ekonomi tak sebesar sekarang. Layar TV di masing-masing kursi juga masih kecil. Jadi perlu ekstra untuk menikmatinya.
Tapi saya punya trik untuk menikmatinya. Setiap kali ke luar negeri, saya selalu boarding palibg belakang. Menunggu di antrean terakhir. Ketika tak ada lagi penumpang lain yang akan masuk pesawat.
Untuk apa? Saat itu, selalu banyak kursi tersisa. Maskapai apa saja. Singapura Airline yang ketika itu sudah sangat terkenal tak terkecuali. Tidak pernah kursinya terisi penuh. Untuk jalur panjangnya di luar negeri.
Dengan boarding paling belakang, jadi tahu mana baris kursi yang kosong. Untuk pesawat jumbo, bosa pilih di tengah yang ada 4 kursi. Kita bisa selonjor tiduran jika 4 kursi itu dikuasai.
Trik itu selalu berhasil di era tahun itu. Saat bepergian ke Eropa, Jepang, atau Amerika.
Kemarin saya perjalanan jauh. Ke Roma. Menemani Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang dijadwalkan ketemu Paus. Pemimpin agama Katolik dunia.
Ia datang membawa misi perdamaian antar umat beragama. Bersama Uskup Pontianak Monsignour Agustinus Agus. Memperkenalkan Islam rahmatan lil alamin Indonesia.
Karena statusnya pendamping, jatahnya ya di klas ekonomi. Tapi kelas ekonominya pesawat sekarang. Yang kursinya sudah lebih lebar. Lebih longgar. Juga layar TV-nya.
Yang asyik, saya merasakan naik pesawat jumbo. Airbus 380-800. Double deck seluruh badan. Pesawat yang sangat gemuk. Untuk perjalanan Dubai-Roma.
Begitu transit di Bandara Dubai, saya perhatikan semua pesawat yang bertujuan ke Eropa. Juga ke Amerika. Ternyata yang parkir sudah pesawat jumbo terbarunya. Yang jendelanya berjajar dua tingkat dsri depan sampai belakang.
Wuik, saya langsung bertanya dalam hati. "Apa ya pesawat sebesar itu juga penuh semua. Terisi semua kursinya?."
Pesawat ini didesign dengan kapasitas penumpang 520 sampai 800 lebih. Saya nggak tahu persis berapa Emirates mengisi kursi pesawat jumbonya. Ada klas ekonomi, business, dan first class. Yang disebut terakhir bisa tidur selonjor dengan longgar.
Saya pun langsung berharap ada kursi kosong di klas ekonomi. Sehingga bisa menikmati perjalanan jauh seperti biasanya di tahun 1990-an.
Saya pun berusaha boarding paling akhir. Tidak barengan dengan rombongan lainnya. Yang sama-sama ada klas ekonomi.
Pesawat jumbo mewah itu ada tiga lajur kursi. Tiga empat tiga. Saya dapat tempat duduk di 59 C. Di pinggir koridor sebelah. Kursi favorit saya setiap naik pesawat.
Begitu masuk, eh ternyata semua kursi terisi. Penuh sekali. Tidak ada satu pun kursi tersisa. Padahal ini pesawat yang lebih besar dibanding pesawat yang mengangkut saya dari Jakarta ke Dubai.
Sungguh kini pesawat terus makin gemuk. Tapi penumpangnya justru makin penuh. Termasuk yang baru saja saya alami.