Berpanas-panas, Berburu Vaksin untuk Pelajar
Zaidan Iza Zein sengaja bangun pagi. Remaja berusia 14 tahun itu hari itu memang merencanakan ikut vaksinasi di Stadion Gelora 10 Nopember Tambaksari. Dia ditemani oleh ayahnya Fahrizal Arnas.
Sekitar jam 08:00 WIB mereka berdua berangkat ke Stadion Gelora 10 Nopember Tambaksari. Hari itu memang ada vaksinasi massal yang diadakan oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Berangkat sepagi mungkin memang sudah diusahakan. Tujuannya agar tak terlalu lama mengantre. Namun apa daya, setelah sampai di lokasi, ternyata ratusan orang sudah mengular mengantre. Protokol kesehatan yang seharusnya dijalankan ternyata tak dilaksanakan. Orang berdesak-desakan berebutan untuk mengantre. Mereka takut tak kebagian vaksinasi.
Akhirnya, dengan mempertimbangkan soal keselamatan anaknya, Fahrizal Arnaz mengajak anaknya pulang kembali ke rumah. Mereka pulang dengan tangan hampa. Zaidan tak jadi vaksinasi.
"Anakku lebih baik saya ajak pulang daripada panas-panas antre dan berdesak-desakan. Vaksin tak dapat, bisa-bisa malah kena COVID-19," kata Fahrizal.
Awal Agustus yang lalu, Surabaya memang gencar melaksanakan vaksinasi massal. Vaksinasi massal ini tak hanya diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya, namun berbagai instansi seolah ikut berlomba menggelar. Setiap kegiatan vaksinasi massal ini selalu dijubeli warga.
Berdesak-desakan seolah berebut segera divaksinasi pada awal-awal Agustus lalu memang menjadi pemandangan yang lazim. Semua orang seolah berebut ingin segera divaksinasi. Orang menjadi tak peduli protokol kesehatan saat mengantre. Dalam benak mereka yang penting dapat vaksin, meski harus berdesak-desakan.
Kondisi yang seperti itu sebenarnya menjadi keprihatinan anggota DRPD Surabaya. Tjutjuk Supariyono anggota Komisi D DPRD Surabaya menyarankan, dalam hal vaksinasi Pemkot Surabaya harusnya menugaskan RW-RW untuk percepatan vaksinasi.
Menurutnya, jika vaksinasi dipusatkan di RW-RW, maka tak akan ada warga yang kelewatan untuk mendapatkan vaksinasi. Kecuali warga itu menolak untuk divaksin. Ibaratnya, kata Tjutjuk, vaksinlah yang harus mendatangi rumah-rumah warga agar semua dapat.
“Keinginan kami di DPRD itu vaksinasi harusnya dilakukan per RW sehingga tidak ada yang kelewatan. Tidak ada lagi warga yang tidak tahu informasi vaksin terpusat. Karena langsung dari RT-RW mereka. Dengan begitu, percepatan vaksinasi akan berjalan,” kata Tjutjuk
Ia mengatakan, ketika vaksinasi sudah di-handle oleh RW-RW, maka secara teknis RW itu harus membagi jadwal kedatangan dengan sesi-sesi, yang dibagi per RT di wilayah itu. Warga harus datang sesuai sesi undangan yang diberikan. Jika lewat, RW harus menyediakan jam khusus setelah semua sesi selesai. Dengan begitu, warga yang bekerja atau memiliki kesibukan bisa izin pada jam yang telah ditentukan.
“Jika sudah ditentukan, warga itu pasti akan ikut. Mereka setelah vaksin bisa langsung bekerja atau sibuk lagi. Kan enak ya cepat, nggak perlu antre lama atau mendatangi tempat yang ramai orang. Karena di RW itu sudah di beri sesi. Jadi yang datang hanya sejumlah sesi. Jadi tidak terdampak antrean. Demikian pula untuk anak sekolah, Bagus sekali jika diadakan di sekolah yang punya gedung serba guna yang besar atau di gedung itu sesuai jumlah murid. Kan jadi nggak ramai,” katanya.
Pendapat serupa juga dikatakan oleh Wakil Ketua DPRD Surabaya AH Thony. Kata dia, vaksinasi terpusat yang dilakukan di Surabaya harus diakhiri. Sebab acara vaksinasi itu cenderung seremonial yang dihadiri pejabat dan menyebabkan kerumunan. Seperti yang dilakukan di Gelora 10 Nopember, Lapangan Thor, hingga Islamic Center beberapa waktu lalu.
Menurutnya, vaksinasi terpusat itu malah membahayakan. Berpotensi menimbulkan kerumunan sangat tinggi, jika ribuan orang diundang di satu tempat. Ini tentu kurang tepat karena semangat yang diusung pemerintah saat ini selain vaksinasi adalah, harus taat protokol kesehatan (prokes).
Ia membayangkan, jika ada satu atau beberapa peserta yang membawa virus saat vaksinasi itu, maka penyebaran akan cepat. Bukan hanya peserta lain yang bisa kena, namun juga petugas penjaga vaksinasi hingga tenaga kesehatan yang melakukan vaksinasi.
Harusnya vaksinasi bisa disebar di kelurahan-kelurahan. Bisa lewat Puskesmas Pembantu atau minimal semua Puskesmas menerima vaksinasi. Atau bisa juga di tempat representatif yang ada di setiap kelurahan.
Pelaksanaannya juga tak perlu dibatasi hari, agar peserta tidak datang bersamaan.
"Pengumpulan warga dalam jumlah banyak dalam satu waktu, sebaiknya dikurangi,” kata AH Thony.
Pemerintah Kota Surabaya tampaknya berkaca dari pengalaman. Mereka akhirnya mengubah strategi vaksinasi. Terutama untuk para pelajar. Tengok saja vaksinasi untuk pelajar yang dilaksanakan dalam dua terakhir.
Untuk mempersiapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Pemkot Surabaya berusaha sebanyak-banyaknya vaksinasi pelajar. Namun caranya kini beda. Karena sasaran yang dituju adalah siswa, Pemkot Surabaya menggelar vaksinasi di sekolah-sekolah. Misalnya saja di SMPN 2 dan SMPN 29 Surabaya.
Eri Cahyadi, Walikota Surabaya pun menyebut vaksinasi yang dilakukan di sekolah-sekolah itu untuk dosis kedua.
"Iya yang dilakukan di sekolah itu dosis kedua. Sedangkan dosis pertama untuk yang sama sekali belum vaksin, masih belum. Pemkot masih minta, doakan supaya dapat banyak," ungkap Eri Cahyadi ditemui di Balaikota 31 Agustus 2021.
Vaksinasi untuk pelajar ini memang masih menjadi masalah. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menyebut jika di Jawa Timur vaksinasi untuk guru sudah mencapai 88,48 persen untuk dosis pertama dan 77,74 persen untuk dosis kedua.
Namun, untuk pelajar SMA, SMK dan SLB sesuai kewenangan Provinsi baru mencapai 7,79 persen untuk dosis pertama dan 1,31 persen untuk dosis kedua.
Kata Khofifah, untuk mencapai 100 persen vaksinasi untuk guru dan siswa SMA dan SMK, Jawa Timur masih membutuhkan 1,1 juta lebih dosis vaksin COVID-19. Sedangkan dihitung mulai usia 12 tahun maka membutuhkan 3,2 juta dosis vaksin. Khofifah pun sudah sambat hal ini ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), pada Kamis 26 Agustus lalu.
Advertisement