Berobat Pakai KTP, Berharap Layanan Lebih Baik untuk Minoritas
Kebijakan berobat hanya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga Surabaya yang berlaku mulai hari ini, 1 April 2021 seolah menjadi angin segar bagi kelompok minoritas. Terutama kelompok minoritas yang sering berhubungan dengan layanan kesehatan. Misalnya komunitas Lelaki Seks Lelaki (LSL) atau gay dan transgender atau waria.
Koordinator Lapangan Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) Feby Damayanti menyebut, berobat dengan menunjukkan KTP sebenarnya bukan menjadi hal yang baru bagi komunitas mereka. Bahkan mayoritas komunitas transpuan memiliki BPJS. Namun, meski punya BPJS, mereka dalam mengakses layanan kesehatan malah jarang menggunakan BPJS.
"Teman-teman di Surabaya mayoritas punya BPJS Kesehatan. Tapi jarang digunakan, karena mereka sudah bisa mengakses layanan kesehatan," katanya.
Menurut Feby, dengan adanya kebijakan Walikota Surabaya, Eri Cahyadi ini tentu akan sangat membantu teman-teman transpuan. Selama ini, layanan berbasis KTP di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) tingkat pertama sebenranya dianggap tidak menjadi masalah bagi kelompok transgender ini.
"Kalau yang KTP Surabaya akses layanannya gratis, tapi kalau yang tidak punya KTP bayar administrasi saja," katanya.
Kata Feby, dalam mengakses layanan bagi transgender sepanjang tahun 2020 tidak ada kendala. "Dulu memang ada masalah, karena banyak teman-teman yang tidak punya KTP maupun BPJS. Tapi sekarang sudah tidak masalah," katanya.
Koordinator LSL Surabaya Slamet menyebut, berdasarkan data yang mereka miliki, mayoritas LSL yang ada di Surabaya memiliki KTP. Harusnya dengan mempunyai KTP, mereka juga bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Sesuai janji pemerintah.
"Semua teman LSL yang ada di Surabaya punya KTP. Data dari hasil penelitian kita awal tahun 2021 dari 100 responden 100 persen punya KTP," katanya.
Tapi yang jadi masalah, lanjut Sam, sapaan akrabnya, mayoritas komunitas LSL tidak punya BPJS. Mereka rata-rata tidak mau mengurus BPJS karena persyaratannya memberatkan.
"Persyaratan ngurus BPJS itu kan sekarang harus satu KK (Kartu Keluarga). Bayangkan dalam satu KK ada 5-10 orang. Tinggal kalikan berapa iuran yang harus dibayarkan. Kalau mau sendiri ya harus pecah KK," katanya.
Kata Sam, bagi LSL pecah KK tidak terlalu ribet, namun kadang butuh waktu lama. "Pengalaman tahun kemarin ada teman yang ngurus pecah KK sampai saat ini belum selesai. Padahal sudah 10 bulan. Yang lama itu di Dispendukcapil," katanya.
Bagi komunitas LSL, kebijakan Walikota Surabaya soal berobat hanya dengan KTP sebenarnya sudah mereka nikmati sebelum kebijakan ini ada. Layanan kesehatan berbasis KTP itu sudah dilakukan sejak dua tahun yang lalu lewat program Kementerian Kesehatan langsung.
"Kita kalau akses kesehatan harus ada NIK (Nomor Induk Kependudukan)-nya. Kalau tidak punya NIK ya tidak bisa. Ini sudah terjadi lama," katanya.
Yang menjadi masalah, kata Sam, selama ini akses layanan kesehatan itu hanya mudah pada fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) di tingkat pertama.
"Kalau misal diketahui positif HIV, maka dia harus dirujuk ke fasyankes tingkat II untuk mengakses layanan pra ARV, seperti harus tes kesehatan lengkap, mulai cek darah, viraload, SGPT, SGOT, dan lain-lain. Untuk akses itu tidak gratis, meskipun punya KTP," katanya.
Setiap akses layanan pra ARV, pasien harus mengeluarkan uang minimal Rp500 ribu. Sementara, layanan pra ARV itu tidak bisa diklaimkan ke BPJS.
"Layanan pra ARV ini sebenarnya masuk dalam kategori Universal Health Coverrage (UHC). Tapi, layanan pra ARV ini tidak bisa dicover oleh BPJS. Apalagi, temen-temen LSL mayoritas tidak memiliki keanggotaan BPJS. Apakah dengan bekal KTP bisa akses? Kalau bisa akan lebih baik manfaatnya bagi kita," katanya.
Lanjut Sam, pengalaman selama menjadi pendamping komunitas LSL, tidak pernah rumah sakit yang menggratiskan layanan pra ARV.
"Biasanya kalau ada kawan yang tidak punya uang untuk tes pra ARV temen-temen lain pada patungan. Kalau program pemerintah itu benar-benar dijalankan dengan baik ya akan sangat memudahkan juga dalam upaya menekan angka prevalensi HIV di Surabaya," katanya.
Tim Liputan: Witanto, Pita Sari