Ribetnya Persiapkan Berobat Hanya Pakai KTP Bagi Warga Surabaya
Sahdiyah tampak serius melihat layar laptop yang ada di depannya. Bukan pekerjaan kantor yang sedang dia kerjakan, melainkan pekerjaan untuk memasukkan data warganya yang masuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Maklum, Sahdiyah adalah Ketua RT-01 RW-06 Kelurahan Perak Timur, Surabaya.
Sahdiyah sebenarnya tak sendiri, melainkan hampir semua Ketua Rukun Tetangga dan Rukun Warga se-Kota Surabaya disibukkan dengan hal yang sama sekitar pertengahan sampai akhir Februari yang lalu. Satu pekerjaan yang harus segera mereka selesaikan itu adalah, verifikasi ulang warga yang masuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
“Saya verifikasi MBR lewat aplikasi khusus dan saya agak ngebut ngerjainnya,” katanya.
Kata Sahdiyah, dalam proses verifikasi MBR pertanyaan yang sering muncul di antaranya apakah masih hidup atau sudah meninggal. Dan, apakah masih tinggal di alamat sesuai KK atau sudah pindah.
Hasil verifikasi di lapangan untuk wilayah RT-nya, Sahdiyah menyebut ada 168 Kartu Keluarga (KK) yang layak masuk dalam kategori MBR. Sahdiyah juga menjamin data KK tergolong dalam MBR memang layak masuk dalam kategori tersebut.
“Saya tahu warga saya, sudah hafal. Kalau ada yang nggak tahu dan namanya asing, saya baru terjun ke lapangan. Mendatangi secara langsung sesuai alamat yang ada di data,” ujarnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh salah seorang Ketua RT di kawasan Surabaya selatan. Dia mengatakan harus ngebut untuk memverifikasi ulang warganya yang masuk dalam kategori MBR. Pria yang bekerja di perusahaan otomotif ini mengatakan, sudah mendata lebih dari 300 orang dari 132 KK.
"Warga di wilayah saya memang kurang mampu sehingga saya memasukkan data warga. Saat mengerjakan data MBR sekaligus BPJS, saya dan Ketua RT lainnya mengerjakan di Balai RW. Bapak RW sebagai supervisi apakah warga tersebut layak masuk data MBR atau tidak," kata pria yang enggan disebut namanya tersebut saat diwawancarai akhir Maret lalu.
Kata dia, soal pemutakhiran data warga yang masuk dalam kategori MBR lewat aplikasi ini ternyata bukan hal yang mudah. Pasalnya, dia pernah mengalami kesulitan saat memasukkan tambahan warganya yang harusnya masuk dalam kategori MBR. Meski data sudah diinput, namun nama warga tersebut tak tercantum dalam aplikasi. Karena kesulitan ini pula, dia jadi khawatir dianggap tak bekerja untuk input data warga yang kurang mampu.
"Sampai-sampai Pak RW berpikiran buruk. Jangan-jangan warga sini memang dipersulit update data, karena saat pilwali yang menang bukan Eri Cahyadi," kata pria ini sambil tersenyum.
Pekerjaan untuk pemutakhiran data warga yang dilakukan oleh para Ketua RT dan RW di Surabaya ini memang seperti dikejar-kejar deadline. Pasalnya, per 1 April hari ini Pemerintah Kota Surabaya punya kebijakan anyar soal kesehatan warga. Mulai 1 April 2021, warga Surabaya, cukup memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk atau KTP untuk mendapatkan layanan kesehatan di semua puskesmas, klinik, dan rumah sakit pemerintah. Akses itu juga mencakup klinik dan rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS).
Warga Surabaya, terutama yang miskin, tidak perlu lagi mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk berobat. Warga peserta BPJS Kesehatan, yang dalam perjalanan menjadi miskin sehingga tak sanggup membayar iuran, juga akan terlayani dan ditanggung oleh Pemerintah Kota Surabaya.
”Kebijakan ini bisa diterapkan per 1 April 2021,” kata Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Rabu 17 Maret yang lalu.
Kebijakan berobat dengan hanya menunjukkan KTP Surabaya ini sebenarnya bagian dari kebijakan pemerintah pusat untuk menerapkan Universal Health Coverage (UHC) untuk warganya. Kebijakan ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak 2019 yang lalu oleh pemerintah pusat. Kebijakan UHC di Indonesia ini, sebenarnya juga turunan dari World Health Organization (WHO). Pada tahun 2005 lalu, semua negara anggota WHO, termasuk Indonesia memang berkomitmen untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC).
Untuk bisa menjalankan UHC, dalam sebuah populasi minimal 95 persen dari anggota populasi sebuah wilayah menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sementara, data dari BPJS Kesehatan Cabang Surabaya, sampai dengan akhir Maret yang lalu, Kota Surabaya masih 84,4 persen warganya yang ikut JKN-BPJS. Maka dari itu untuk menyelesaikan target tersebut hingga 95 persen, Walikota Surabaya, Eri Cahyadi menggandeng BPJS untuk bekerja sama dalam mendaftarkan warga KTP Surabaya yang belum terdaftar di BPJS.
Kepala Bidang SDM, Umum dan Komunikasi Publik, BPJS Kesehatan Cabang, Surabaya Achmad Zammanar Azam mengatakan, dengan kerjasama ini warga Surabaya yang ingin mendaftarkan diri ke BPJS kelas III atau JKN/KIS tak perlu lagi menggunakan surat keterangan tidak mampu untuk mendaftarkan diri. Sebelum adanya kerjasama ini, memang ada syarat harus menggunakan surat keterangan tidak mampu dari RT-RW agar iuran bulanan BPJS bisa ditanggung oleh Pemerintah Kota Surabaya.
"Dengan kerjasama ini, kini warga Surabaya, baik warga miskin maupun kaya tak perlu lagi menggunakan surat keterangan tidak mampu untuk mendaftarkan dirinya masuk ke kelas III BPJS Kesehatan atau JKN/KIS," kata Surabaya Achmad Zammanar Azam.
Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Surabaya, Febria Rachmanita menyebut, Pemerintah Kota Surabaya sudah mengalokasikan anggaran sekitar sebesar Rp400 miliar untuk satu tahun. Dia menjamin, setiap warga Surabaya yang terdaftar akan langsung bisa menikmati kebijakan ini.
"Termasuk kalau misal ada yang ketika di tengah jalan tidak mampu membayar premi akan otomatis masuk program UHC dengan menunjukkan KTP asal Surabaya," imbuhnya.
Ihwal anggaran yang sudah dipersiapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya ini, dipertanyakan oleh anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, Badru Tamam. Dia mengatakan, hingga hari ini belum ada komunikasi dari Pemkot Surabaya ke DPRD, terkait dengan kebijakan Universal Health Coverage (UHC) untuk warga Surabaya ini.
"Sampai saat ini belum, belum ada sama sekali komunikasi dari Pemkot ke kami. Rapat dinas pun tidak ada. Apalagi pembentukan panitia khsus (pansus). Kami Komisi D ini bertanggung jawab atas bidang kesejahteraan, pendidikan dan juga kesehatan. Kami di DPRD Surabaya tahunya juga dari berita-berita di media," kata Badru Tamam akhir Maret lalu.
Badru Tamam juga menyorot soal kekuatan APBD Kota Surabaya 2021 dalam bidang kesehatan. Ia menilai Walikota Surabaya Eri Cahyadi belum melihat secara seksama persentase untuk anggaran bidang kesehatan dalam APBD Kota Surabaya.
Sebab saat ini, sesuai dengan APBD Kota Surabaya 2021 yang sudah disetujui oleh DPRD Surabaya, bidang kesehatan hanya mendapat porsi 21 persen dari total APBD 2021. Badru menganggap dengan persentase sebesar itu belum cukup meng-cover program yang yang dicanangkan oleh Walikota Surabaya, Eri Cahyadi itu.
"Belum dikomunikasikan ke kami. Mungkin itu program pribadinya Eri yang langsung disampaikan ke publik atau dari tim ahlinya. Namun yang pasti saya melihat 21 persen dana APBD untuk kesehatan belum kuat untuk meng-cover program ini. Lalu juga jika memang tidak kuat kan harus ada refocusing dan relokasi anggaran, itu juga sampai hari ini belum terjadi dan belum dilakukan," katanya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh anggota Komisi D yang lain, Tjutjuk Supariono. Kata dia, hingga saat ini Pemerintah Kota Surabaya belum mengkomunikasikan soal kebijakan berobat hanya dengan menunjukkan KTP untuk warga Surabaya ini. Namun, secara pribadi dia mendukung program ini.
"Dengan kebijakan ini berarti memangkas birokrasi yang ruwet dan makan waktu. Selama ini berobat dengan menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) prosesnya lama karena butuh survei dari kelurahan, Dinas Sosial dan syarat lainnya," kata Tjutjuk.
Meski secara pribadi dia mendukung, namun dia menyoroti soal sasarannya kebijakan. Kata dia, jika kebijakan berobat dengan hanya dengan menunjukkan KTP berlaku untuk seluruh warga Surabaya termasuk untuk orang kaya, maka dianggap salah sasaran.
"Orang mampu kalau berobat masuk kelas III BPJS dibayari Pemkot Surabaya, itu waste money. Banyak anggaran yang akan terbuang. Kalau begitu, ya tergantung moral masing-masing warga. Harusnya kalau kaya atau mampu, daftar BPJS kelas III itu malu," kata Tjutjuk.
Soal alokasi anggaran pun, Tjutjuk tak terlalu merisaukan. Karena meski hanya 21 persen dari total APBD untuk bidang kesehatan, namun jika dalam perjalanannya dianggap kurang, APBD bisa direlokasi.
Kekuatan anggaran Pemerintah Kota Surabaya untuk membayar iuran BPJS warganya juga tak dirisaukan BPJS Kesehatan Cabang, Surabaya. Kepala Bidang SDM, Umum dan Komunikasi Publik, BPJS Kesehatan Cabang, Surabaya Achmad Zammanar Azam kembali berkomentar jika Pemerintah Kota Surabaya selama ini tidak pernah ada kendala dalam pembayaran. Mulai zamannya Walikota Tri Rismaharini sampai sekarang.
"Sebab, meski pun nanti misalnya menunggak, BPJS akan tetap hadir dan melayani kesehatan warga. BPJS adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas jaminan kesehatan warga Indonesia. Kalau kami boleh jujur, ada beberapa kota atau kabupaten yang mengalami penunggakan pembayaran tapi kami tetap melakukan pelayanan karena memang itu kewajiban kami," pungkas Achmad Zammanar Azam.
Tim Liputan: Yasmin Fitrida, M. Rizky, Fariz Yarbo dan Alief Sambogo
Advertisement