"Bernujum" di Warung Kopi
Sketsa ini lama tersimpan dalam ponsel pintar saya. Filenya pun juga sudah bergeser ke bawah seiring makin banyaknya memori yang tersimpan di dalamnya.
Bagi orang baru yang berinteraksi dengan dunia kopi melihat sketsa ini boleh jadi hanya sketsa biasa-biasa saja. Orang pada duduk-duduk di warung kopi. Asyik menyalakan rokok. Dan tentu saja ngopi!
Di depan persis orang duduk-duduk itu ada meja bar untuk menyeduh kopi. Tempat paling istimewa untuk para pecinta kopi. Sementara di belakang meja bar itu ada barista perempuan yang rambutnya tampak bergelung di atas.
Tak begitu jelas aktivitas si barista. Entah sedang menyeduh kopi atau sedang berhadapan dengan banyak gelas dan alat kopi yang harus dicuci. Tapi satu yang pasti jelas, dia berada di kedai kopi.
Entah dipojok mana, pasti juga sembari ngopi, ada tangan kreatif membuat corat-corat di atas kanvas dalam aplikasi ponsel pintarnya. Tahu-tahu, di akhir cerita, sketsa itu sudah menjadi status Medsos di banyak penggiat kopi Jawa Timur.
Saya pun mendapat tag juga untuk sketsa ini. Lalu kemudian menyimpannya. Sampai kini.
Ada dua peristiwa yang hari ini bersarang di kepala saya. Tidak sampai membuat pening sih. Hanya bikin terngiang-ngiang. Melayang-layang pada peristiwa perkopian di Surabaya, Jawa Timur, beberapa saat silam. Saat itu, Kota Besar Surabaya ini, dan Jawa Timur Provinsinya, masih separuh hutan belantara untuk dunia kopi.
Peristiwa pertama, tahu-tahu Instagram menyodorkan kenangan tahun silam, bahwa saya pernah dalam satu peristiwa memikat dengan Pak Budiono. Peristiwa terakhir mestinya. Saya memotret, Pak Budiono sedang menyeduhkan kopi.
Seduhan kopinya, mestinya, tidak hanya untuk saya seorang. Tapi buat beberapa orang yang memang hari itu datang berkunjung ke Warkop miliknya. Warkop Bugil namanya. Nama yang aneh, unik, sekaligus, multiinterpretasi.
Kunjungan yang asik saat itu, sebab ada persoalan mendasar di perkopian Jawa Timuran yang coba kita diskusikan dan pecahkan.
Peristiwa kedua, tahu-tahu saya tergerak melihat dan membaca postingan Ibu Ester. Juga di Instagram. Ibu Ester ini adalah pasangan abadi Pak Budiono. Instagram itu bernarasi penuh makna. Narasi yang teramat bijak. Narasi sumeleh yang hanya bisa dimengerti Ibu Ester sendiri dan para putra Pak Budi.
"Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah orang yang membangunnya...," tulis Ibu Ester mengutip sebuah alkitab.
Tertegun saya. Seperti baru sadar saya. Menyadari saya. Bahwa, Budiono, Pak Budi, Om Budi, Budi Bugil, Pak Bugil, atau apa saja panggilan akrabnya sudah lama tiada. Berpulang mendadak. MenghadapNya. Tanpa sakit, tanpa peringatan. Bahagia tiada tara.
Di dunia perkopian, Budi Bugil salah satu yang fenemonal. Jalan terus. Pantang menyerah. "Menolak" kopi tidak pahit. Kopi itu hanya ada dua, enak dan uenak. Jadi semua kopi itu enak. Siapa pun penyeduhnya. Kalau kopinya tidak pas, itu hanya masalah waktu. Masalah imajinasi yang di depan, bukan kopinya yang harus dikedepankan. Kalau sampai pada waktunya tidak pas, maka diamlah. Datanglah ke kebun. Besarkan hati petaninya. Agar bisa memproses kopi dengan pasar yang diinginkan.
Satu yang masih sangat terngiang, kita ini perlu koperasi kopi. Kopi Jawa Timur. Karena kita di Jawa Timur. Jawa Timur gunungnya banyak, lebih banyak dari provinsi manapun. Maka sudah seharusnya Jawa Timur jadi trend yang luar biasa.
Koperasi banyak. Sudah sangat banyak malah. Begitu menjamur. Jadi jamur. Banyak juga yang sudah uzur. Mungkin juga perlu segera dikubur. Tapi yang khusus bicara koperasi kopi tidak ada. Kita simpan pinjam pakai kopi. Menabung pakai kopi. Utang pakai kopi. Nanti SHUnya juga pakai kopi. Ini akan meringankan para kedai kopi. Kedai manapun. Apapun. Yang penting membutuhkan kopi.
Koperasi yang diidekan Pak Budi ini pernah ada. Sepertinya. Tapi bukan dunia kopi. Melainkan beras. Ketika dunia bergeser, koperasi beras ini akhirnya kandas.
Itu tinggalan Budi Bugil. Sepertinya gampang melakukan, tapi sulitnya bukan kepalang.
Kembali soal skesta di warung kopi. Bagaimana bisa gambar sketsa lama ini tiba-tiba muncul bersamaan dengan beberapa adegan yang ada Pak Budinya?
Seperti "bernujum" saja sketsa ini tiba-tiba sedang memutar cerita. Seperti apa ceritanya? Ah rasanya saya tak sanggup bercerita lagi. Padahal ini belum sampai ke nujum. Hanya sebegini saja mampunya. Ah, semoga damai di sana Pak Budi. Amin. (widikamidi)