Bermula dari Proyek Raksasa, Hepatitis yang Menyatukan
Persahabatan saya dengan Robert Lai sudah berlangsung lebih 20 tahun. Sudah seperti saudara.
Robert lahir di Hongkong. Tapi sejak kecil diajak merantau orang tuanya ke Singapura. Karena itu meski kewarga negaraanya Singapura Robert berhak memiliki KTP Hongkong. Dengan memegang paspor Singapura dia bebas masuk ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, negara-negara Eropa daratan bahkan ke Israel. Dan dengan KTP Hongkong dia bebas keluar masuk Tiongkok. Akibatnya setiap kali bersama Robert ke luar negeri selalu saja dia menunggu saya yang lebih lama dalam melewati proses imigrasi.
Waktu pertama kali bertemu, Robert Lai adalah seorang pengacara perusahaan. Dia menjadi pengacara untuk banyak perusahaan publik di Hongkong maupun Singapura. Juga di Vietnam.
Hari itu, akhir tahun 1990-an, dia bertemu saya di Batam. Saya lagi ada rapat di pulau dekat Singapura itu. Robert saat itu mewakili perusahaan publik di Singapura tapi pemiliknya orang Indonesia. Seorang konglomerat muda (waktu itu) yang lagi paling top di Indonesia.
Robert, dengan jas, dasi dan kenecisannya langsung menarik simpati kami yang lagi rapat. Antara kami dan Robert kelihatan amat kontras. Kami adalah para manajer koran yang umumnya berpenampilan agak kumuh.
Saat itulah sang konglomerat muda menawarkan kerjasama membangun super highway coridor di Kemayoran, Jakarta. Kami yang menggarap kontennya. Saat itu internet masih di awal masa pertumbuhannya. Belum banyak orang gila internet seperti sekarang.
Untuk merumuskan perjanjian kerjasama itulah sang konglomerat menugasi Robert Lai membuat draft MoU. Minggu berikutnya Robert ke Surabaya. Ke kantor saya. Seminggu lamanya. Menyusun draft perjanjian yang diawali dengan MoU itu. Itulah untuk pertama kalinya Robert ke Surabaya seumur hidupnya.
Selama di Surabaya Robert selalu makan siang di kantin Graha Pena. Sebagai orang Hongkong lidahnya kurang cocok dengan masakan yang ada. Saya tahu dia pandai masak. Maka itu saya minta Robert masuk ke dapur resto. Mengajari chef kami.
Mau. Dia ajarkan prinsip-prinsip membuat makanan yang enak. Salah satunya: api harus sangat panas. Dengan demikian makanan yang digoreng sangat lezat: luarnya kriuk-kriuk (crispy) dalamnya masih lembut.
Robert juga meninggalkan satu ajaran untuk membuat bihun goreng. Sampai sekarang, di resto Graha Pena, insyaallah, masih ada satu menu yang dinamakan “bihun Robert”. Itulah bihun goreng dengan resep dari Robert Lai. Salah satu yang saya paling suka.
MoU dengan konglomerat muda itu akhirnya saya tandatangani. Saya tidak menyangka dampaknya yang begitu hebat. Saat MoU itu diumumkan di pasar modal Singapura, nilai saham perusahaan konglomerat tersebut melejit jit jit. Sang konglomerat menikmati gain luar biasa saat itu juga.
Robert merasa tidak enak terhadap saya. Kok sepertinya saya hanya dimanfaatkan untuk menggoreng saham. Apalagi proses realisasi proyek super highway coridor Kemayoran tidak ada kemajuan.
Robert datang lagi ke Surabaya. Untuk minta maaf kepada saya. Dia merasa bersalah.
Saya tegaskan bahwa dia tidak bersalah. Dia hanyalah pengacara yang mendapat tugas dari perusahaan yang mengontraknya, untuk melakukan apa yang jadi tugasnya.
Tapi Robert tetap merasa ikut bersalah. Dia pun mengusulkan untuk membatalkan MoU itu. Agar saya terhindar dari konsekwensi tidak berjalannya proyek tersebut. Dia menawarkan diri untuk membuat dokumen-dokumen (dalam bahasa Inggris) yang harus saya tandatangani. Saya setuju dan berterima kasih.
Yang kedua, Robert menyatakan tidak mau lagi bekerja untuk perusahaan tersebut. Bahkan tidak mau lagi jadi pengacara. Pensiun.
Dan yang ketiga, inilah awal persahabatan yang panjang itu, dia ingin membantu saya untuk kerja apa pun. Tanpa dibayar. Sebagai penebus dosa, katanya.
Saya menganggap hal itu berlebihan tapi Robert serius.
Dari segi ekonomi Robert sebenarnya bukan orang kaya —untuk ukuran Singapura. Tapi hidupnya cukup. Dia masih memperoleh penghasilan dari jabatannya sebagai komisaris di beberapa perusahaan publik. Baik yang di Hongkong maupun yang di Singapura.
Sejak merasa bersalah itu Robert sering ke Surabaya. Juga sering mendampingi saya ke luar negeri. Terutama kalau lagi ke Hongkong, Taiwan atau Tiongkok.
Istri Robert, Dorothy, merelakan suaminya terus pergi bersama saya. Sering Dorothylah yang mengatur jadwal perjalanan. Kemampuan bahasa asingnya, termasuk bahasa Prancis, membuat Dorothy bisa menyelesaikan banyak hal.
Secara intelektual saya juga merasa cocok dengan Robert. Pengetahuannya sangat luas. Apalagi di bidang pengelolaan bisnis.Tapi Robert juga asyik di bidang filsafat. Kami bisa diskusi filsafat berjam-jam dengan Robert.
Tidak ada sensitivitas tertentu dalam hubungan persahabatan kami. Misalnya di bidang agama. Robert adalah orang yang tidak beragama. Bisa menerima prinsip agama apa pun termasuk agama saya: Islam.
Bepergian dengan Robert juga hemat. Kami bisa bermalam satu kamar yang ranjangnya dua buah. Juga biasa mencuci pakaian dalam sendiri. Kami sama-sama membuat hidup ini simple. Tidak menuhankan gengsi. Kami suka menertawakan perilaku orang kaya, yang kaus kaki pun dilaundrykan di hotel.
Kami juga biasa cukur rambut di sebuah gang di Beijing atau Shanghai. Tidak harus di barber shopnya hotel bintang lima.
“Hidup ini indah,” ujar Robert. “Kalau kita bisa menikmatinya.”
Sikap rakuslah yang sering membuat kenikmatan hidup itu rusak.
DISATUKAN HEPATITIS
Tahun 2004, subuh, saya dibangunkan oleh rasa ingin muntah. Ternyata muntah darah. Saya coba tampung di kedua telapak tangan sambil berjalan menuju toilet.
Tapi tidak cukup. Banyak darah yang tumpah ke lantai. Saya baru memberitahu Robert Lai empat hari kemudian. Setelah dokter di Surabaya menganjurkan saya ke Singapura.
Dokter Surabaya merekomendasikan agar saya ditangani dokter Cheng Jun di RS Mount Elizabeth.
Robert lantas mencari tahu siapa dokter Cheng Jun, di mana alamatnya dan membuatkan janji untuk menemuinya.
Saya tahu bahwa saya sudah lama mengidap hepatitis B. Tapi saya baru sadar akibat fatal dari hepatitis B itu setelah muntah darah tersebut.
Sebenarnya saya cukup serius mengambil langkah untuk menghilangkan hepatitis B tersebut.
Waktu itu umur saya sekitar 45 tahun. Masih bisa bekerja mulai pukul tujuh pagi sampai 02.00 dinihari. Tujuh hari seminggu. 30 hari sebulan.
Sudah jadi kebiasaan.
Sejak umur 31 tahun. Yakni sejak mendapat tanggungjawab memimpin Jawa Pos yang hampir bangkrut saat itu.
Lima belas tahun kemudian saya jatuh sakit. Badan panas sekali. Opname di RS Budi Mulia di kawasan Gubeng. Ketika darah saya dites, untuk mengetahui apakah saya terkena tipus, ketahuanlah bahwa saya juga mengidap hepatitis B.
Saya tidak tahu sejak kapan terkena hepatitis B. Mungkin sejak kecil.
Keluarga saya di desa banyak yang meninggal setelah muntah darah. Waktu kecil saya tidak mendapat imunisasi karena tidak ada gerakan imunisasi di desa saya.
Dokter menjelaskan apa saja konsekwensi bagi orang yang terkena virus hepatitis B.
Sekian tahun kemudian bisa terkena sirosis. Sekian tahun kemudian lagi bisa terkena kanker hati.
Saat diketahui mengidap hepatitis B itu pun posisi saya sudah di “fatty lever”. Liver saya sudah terbungkus lemak.
Waktu saya berumur 45 tahun itu, kemajuan pengobatan belum seperti sekarang. Waktu itu memang sudah ditemukan vaksin baru, tapi sifatnya masih pengembangan. Namanya interveron.
Kalau mau, saya bisa mencobanya. Mahal sekali.
Dan harus disiplin: tiap hari harus disuntik interveron. Sebanyak 75 kali. Berarti saya harus suntik setiap hari selama 75 hari.
Dokter sudah memberitahu itu pun tidak ada jaminan akan menghilangkan virus hepatitis B.
Tapi…siapa tahu.
Dokter juga memberitahu bahwa untuk suntik pertamanya harus dilakukan di rumah sakit. Saya harus opname.
Ada kemungkinan, setelah disuntik itu, badan saya akan sangat panas. Dan demam. Dengan opname, kalau panas itu datang, saya bisa ditangani dengan baik.
Suntik pertama dilakukan pukul 13.00. Di RS Budi Mulia. Setelah disuntik itu saya membungkus badan dengan selimut. Siap-siap menyambut kedatangan demam yang menggigil.
Sampai pukul 15.00 demam itu ternyata tidak datang. Diam-diam saya turun dari tempat tidur.
Satu guling saya selimuti dengan baik. Saya tinggalkan rumah sakit. Naik taksi menuju stadion Gelora 10 November Surabaya.
Persebaya lagi bertanding sore itu. Saya adalah manajernya.
Kembali dari stadion para suster menertawakan guling berselimut itu.
Hari-hari berikutnya saya jalani pengobatan itu. Dengan disiplin.
Hasilnya: Gagal.
Virusnya tetap ada di dalam hati saya. Padahal untuk bisa suntik setiap hari itu tidak mudah. Terutama karena saya harus tetap kerja keras.
Termasuk harus keliling Indonesia. Untuk itu saya harus membeli termos. Agar obat suntik tersebut bisa saya tenteng dalam suhu yang terjaga.
Di kota-kota kecil saya harus mencari dokter untuk menyuntikkannya. Tentu dokter tidak langsung mau. Tanya dulu obat apa itu. Dia pelajari dulu lembar penjelasan yang menyertai obat tersebut.
Maklum ini obat baru. Belum banyak dokter yang tahu. Bahkan di Ambon, dokternya tetap tidak mau ambil resiko. Saya harus keliling kota untuk mencari dokter yang mau menyuntikkannya.
Hasilnya: tetap saja virus hepatitis B itu berkembang.
Bahkan sekian tahun kemudian benar-benar menjadi sirosis. Dan ketika berumur 54 tahun muntah darahlah saya dengan hebatnya itu.
Setiap penderita hepatitis B, yang di Indonesia begitu besar jumlahnya, sebaiknya tahu tahapan-tahapan akibat virus itu. Dan mau mengambil langkah yang serius.
Jangan seperti saya. Saya tahu, akhirnya, bahwa virus hepatitis B tidak bisa dihilangkan. Saya tahu, akhirnya, sirosis itu tidak bisa dipulihkan.
Bagian-bagian hati yang mati karena dirosis tidak bisa dihidupkan lagi. Bagian itu akan tetap mati dan mengeras.
Diberi obat apa pun. Bagian yang mati dan mengeras itu pun kian banyak.
Saya tidak tahu bahwa akibat sirosis tahap berikutnya adalah muntah darah. Atau berak darah.
Belakangan, setelah muntah darah, saya tahu kenapa sirosis itu bisa berkembang ke muntah darah.
Robert Lai ternyata juga baru tahu itu saat mengantar saya ke dokter Cheng Jun. Darah tidak bisa masuk ke bagian-bagian hati yang mati dan mengeras itu.
Darah yang mestinya mengalir ke bagian tersebut menjadi tertahan.
Darah yang tertahan itulah yang ngendon di sepanjang saluran darah. Terutama di saluran darah pencernaan.
Darah yang tertahan tersebut memberi tekanan pada kulit saluran darah. Kemudian menjadi gelembung-gelembung berisi darah.
Dalam kasus saya, jumlah gelembung itu puluhan. Ada yang masih kecil dan banyak yang sudah menor-menor.
Pada tahap tertentu, karena mendapat tekanan terus-menerus, yang menor-menor itu pecah. Muntah darah.
Karena banyaknya bagian hati yang mati dan mengeras (sirosis), fungsi hati pun menjadi terganggu. Tidak bisa menghasilkan albumin. Berarti tidak ada yang bertugas menyerap air dalam darah.
Akibatnya badan bengkak.
Kepada dokter Cheng Jun, Robert Lai bertanya.
Jawaban dokter itu membuat dia tersinggung. Kata-kata dokter itu dia ingat sekarang, hampir 20 tahun kemudian.
“Pak Dahlan ini kan kakinya membesar, sepatunya sudah tidak cukup lagi. Bagaimana?” tanya Robert.
”Ya…beli sepatu baru yang lebih besar,” jawab dokter.
Robert marah. Saya menenangkannya. “Itu jawaban guyon,” kata saya. “Guyon yang lucu.” tambah saya.
Cheng Jun benar. Memang tidak ada jalan keluar. Saya harus selalu beli sepatu yang lebih besar.
Diberi obat anti-bengkak apa pun akan bengkak lagi.
Bengkak itu sumbernya di liver.
Karena bengkak tidak akan membuat saya mati mendadak maka bukan itu prioritasnya. Masih ada toko yang jual sepatu ukuran lebih besar.
Yang mendesak untuk dilakukan Cheng Jun adalah menghindarkan saya dari muntah darah berikutnya.
Yang bisa mengakibatkan kematian mendadak. Dan itu tidak lama lagi. Dari mana tahu?
Dari alat berkamera yang dimasukkan lewat tenggorokan saya. Terlihatlah begitu banyak gelembung darah yang sudah menor-menor. Siap pecah.
Di sepanjang saluran pencernaan saya (esofagus).
Cheng Jun menghilangkan gelembung-gelembung menor tersebut. Agar tidak pecah di luar kendali. Agar tidak muntah darah.
Tapi Cheng Jun tidak bisa mengatasi penyebabnya: hepatitis B yang sudah berkembang menjadi sirosis dan bahkan sudah berkembang lagi menjadi kanker hati.
Cheng Jun menegaskan dengan pasti: ke depan akan terus muncul gelembung-gelembung menor seperti itu. Memang dengan diatasinya gelembung menor itu saya tidak akan muntah darah lagi.
Tapi hanya untuk tiga bulan. Setelah itu sudah banyak gelembung yang masih kecil akan terus membesar dan akan menjadi menor yang siap pecah.
Jalan keluar yang tuntas, meskipun beresiko kematian, kata Cheng Jun, adalah transplantasi hati.
Dari situlah Robert melihat kematian sudah di depan saya. Dan dia bertekad untuk ikut berjuang melawannya. (Dahlan Iskan/bersambung)