Berlindung di Balik Izin Presiden, Novanto Mangkir Panggilan KPK, Ini Alasan Hukumnya
Ketua DPR Setya Novanto kemungkinan besar akan kembali mangkir dari jadwal pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Novanto kembali beralasan jika pemanggilan terhadapnya harus seizin Presiden Joko Widodo.
Pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi bahkan langsung mengajukan uji materi atau judicial review terhadap 2 pasal dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Menurut Fredrich, 2 pasal dalam UU KPK itu bertentangan dengan hak imunitas anggota DPR.
Dua pasal yang dimintakan uji materi yaitu Pasal 46 dan Pasal 12 dalam UU KPK. Pasal 46 berkaitan dengan pemeriksaan tersangka, sedangkan Pasal 12 terkait kewenangan KPK meminta instansi terkait melakukan pencegahan ke luar negeri.
Pasal 12 ayat 1 huruf b berbunyi:
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri
Pasal 46 ayat 1 dan ayat 2 berbunyi:
1. Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
2. Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
Fredrich menyebut 2 pasal itu bertentangan dengan Pasal 20A ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi:
Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Fredrich pun menyebut Novanto tidak akan hadir memenuhi panggilan KPK sampai ada putusan MK atas permohonan uji materi tersebut. Bahkan, dia membandingkan sikap KPK yang menolak panggilan panitia khusus hak angket DPR karena menunggu putusan MK.
Seperti yang terjadi pada hari ini ketika Novanto tidak hadir memenuhi panggilan KPK sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Meski demikian, KPK memastikan bila pengajuan uji materi di MK sebenarnya tidak menghentikan proses hukum yang tengah berjalan, seperti yang tercantum dalam Pasal 58 Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang MK, yaitu:
Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
"Dalam proses hukum, acuan yang digunakan adalah KUHAP, UU Tipikor (UU nomor 31 tahun 1999), dan UU KPK. Jadi sekalipun ada bagian dari UU tersebut yang diuji di MK, hal tersebut tidak akan menghentikan proses hukum yang berjalan," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Rabu (15/11/2017).
"Apalagi ada penegasan di Pasal 58 UU MK sehingga dalam penanganan kasus e-KTP ini, kami akan berjalan terus," lanjutnya.
Menurut Febri, Pasal 20A ayat 3 UUD 1945 harus dipahami lebih jauh. Dia menyebut ada uraian lebih lanjut dalam Pasal 80 dan Pasal 224 ayat 1 Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Pasal 224 ayat 1 berbunyi:
1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
"Jelas sekali, pengaturan hak imunitas terbatas untuk melindungi anggota DPR yang menjalankan tugas. Tentu hal itu tidak berlaku dalam hal ada dugaan tindak pidana korupsi. Karena melakukan korupsi pasti bukan bagian dari tugas DPR. Mari kita jaga lembaga terhormat ini," kata Febri.
"Jangan sampai ada kesan hukum tidak bisa menyentuh orang-orang tertentu. Apalagi jika ada yang mengaitkan dengan pemahaman bahwa imunitas berarti kekebalan hukum tanpa batas," tambahnya.
Kewajiban saksi dan tersangka hadir memenuhi panggilan penegak hukum
Terlepas dari itu, Novanto telah berstatus sebagai tersangka dan wajib memenuhi panggilan aparat penegak hukum, termasuk KPK. Aturan tentang panggilan terhadap tersangka dapat dilihat dalam KUHAP
Pada Pasal 1 angka 14 KUHAP disebutkan:
Tersangka adalah seorang yang karena pernyataannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Sedangkan, Pasal 1 angka 26 KUHAP berbunyi:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Kewenangan penyidik dalam memanggil tersangka atau saksi sendiri diatur di Pasal 7 ayat 1 huruf g KUHAP:
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Aturan pemanggilan baik saksi maupun tersangka juga sudah diatur dalam Pasal 112 ayat 1 KUHAP:
Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
Baik tersangka atau saksi yang dipanggil wajib memenuhinya. Jika panggilan tidak digenapi, penegak hukum yang memanggil bisa melakukan prosedur pemanggilan paksa, dengan surat perintah kepada petugas. Hal ini diatur dalam ayat 2:
Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. (wah)