Berlagak Kyai
PAGI hari, dua orang tamu menyapa santri,
“Mau sowan Kyai, Kang”.
Santri membawa tamu-tamu itu ke ruang tamu saya.
“Dari mana, Pak?” tanya saya setelah berbalas salam.
“Dari Tuban”.
Tamu merapikan duduk.
“Begini, Kyai, kami ini dari Panitia Rajabiyyah Jamaah Masjid Rengel, Tuban”, yang kelihatan lebih tua mengawali, “kami dan kawan-kawan jamaah sepakat ingin mengundang Kyai untuk memberi ceramah pada pengajian Rajabiyyah kami yang akan datang”.
“O…”, nada suara saya sengaja saya bikin rileks dan sedikit acuh tak acuh, padahal batin saya berbunga-bunga — ternyata saya mulai laku juga ceramah di tempat jauh, “kapan itu ya?”
“Waktunya terserah Kyai saja. Cuma, kalau bisa sekitar Rajab akhir, ‘gitu…”
Saya berlagak merenung sejenak. Tamu itu melirik Ji Sam Soe yang tergeletak diatas meja.
“Sebentar, saya lihat jadwal saya dulu ya”, saya bangkit dari kursi.
“Saya juga mohon ijin keluar sebentar, Kyai”, yang lebih muda berkata.
“Mau kemana?”
“Ada perlu sedikit”.
“Oh… ya”.
Saya beranjak ke dalam, si anak muda keluar rumah.
Ini cuma aksi. Saya harus memberi kesan kepada mereka bahwa saya sudah punya kesibukan yang cukup padat. Dari kamar saya ambil komunikator rusak yang walaupun ditempeli batere dobel tak akan menyala.
Kembali ke ruang ramu, dua bungkus Ji Sam Soe yang baru telah diletakkan diatas meja.
“Rokok, Kyai”, si anak muda menyilahkan.
“Wah, repot-repot?”
“Enggak kok…”
“Ya, ya. Terimakasih, terimakasih”.
Saya buka komunikator rusak itu dan memencet-mencet tombolnya seolah memeriksa skedul. Mereka menunggu dengan sabar.
“Wah, tanggal 25 keatas sudah penuh ini”, kata saya. Penuh apanya? Wong saya nggak punya kerjaan kok.
“Ya… terserah Kyai saja lah…”
“Kalau tanggal 21 gimana ya? Malam hari ‘kan?”
“Ya, Kyai, ndherek mawon…”
Kami sepakati hari Anu malam Anu tanggal 21 Rajab. Si tua mengeluarkan kertas dan pulpen untuk mencatat tanggal itu. Mereka kelihatan lega sekali.
“Mari lho, silahkan diminum…” saya menawarkan teh manis yang sudah mulai dingin.
Ketika bersalaman untuk pamit, si tua menempelkan amplop ke tangan saya. Itu porsekot untuk memastikan saya benar-benar hadir pada waktu yang disepakati.
“Terimakasih, terimakasih. Mudah-mudahan tak ada udzur…”
Di ambang pintu, si tua berhenti sejenak.
“Mohon maaf, Kyai”, katanya, “nama lengkap panjenengan itu Ahmad Mustofa Bisri atau Muhammad Mustofa Bisri?”
“Lho?”
Matik aku.
“Lho?”
Wah… waaaah…. matik aku!
(Dikutip dari Terong Gosong KH Yahya Cholil Staquf)
Advertisement