Berkembang Lebih dari Seabad, Ini Tiga Ciri Khusus Muhammadiyah
Di antara organisasi Islam moderat di Indonesia, selain Nahdlatul Ulama (NU), adalah Muhammadiyah. Persyarikatan ini lebih dari seabad telah mengabdikan diri di Indonesia.
Hidup matinya sebuah gerakan tergantung dari bagaimana jamaah yang ada di dalamnya merawat ideologi dan identitas gerakan. Sebab, keduanya menentukan orientasi maupun cara merespon berbagai keputusan penting dan turunannya di bidang ekonomi, sosial, budaya, hingga politik.
Atas urgensi ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menekankan pentingnya konsolidasi terus menerus di kalangan warga Muhammadiyah, terutama bagi para pimpinannya untuk menggali identitas dan ideologi yang tumbuh di Persyarikatan Muhammadiyah.
Disadari ataupun tidak, eksistensi organisasi Muhammadiyah selama lebih dari satu abad menurutnya berasal dari hidupnya ideologi yang terinternalisasi menjadi identitas gerakan Muhammadiyah.
Mempermudah penjelasannya, Haedar Nashir dalam forum Ideopolitor PWM Jawa Barat, belum lama ini, menyebut ada tiga distingsi khas yang membedakan identitas organisasi Muhammadiyah dari seluruh gerakan Islam di sepanjang sejarah.
Tiga Ciri Khusus
Pertama, Muhammadiyah adalah gerakan Islam Modern yang unik. Meminjam penjelasan cendekiawan Nurcholis Madjid dan Prof. Mukti Ali, Muhammadiyah kata dia telah melakukan suatu pembaruan yang bersifat lompatan (breaktrough) tanpa ada contohnya di masa-masa sebelumnya, bahkan tidak dilakukan oleh para pembaharu besar seperti Ibn Taimiyah, Al-Afghani, Abdul Wahab hingga Rasyid Ridha yang hanya bergulat pada tataran pemikiran semata.
Contoh lompatan itu antara lain adalah melahirkan institusi pendidikan dan organisasi Islam modern. Lalu melahirkan gerakan perempuan sekaligus melakukan pembaharuan peran perempuan Islam di ruang publik. Dan terakhir membentuk dakwah amar makruf nahi munkar yang berorientasi pada tajdid dan konteks (Al-Ashariyah), bukan semata-mata purifikasi (pemurnian) yang dilakukan dengan cara konfrontatif.
“Hal-hal distingtif itu akan membuat kita tahu diri tahu posisi diri dan peran yang harus kita lakukan dan yang membedakan kita dengan orang lain dalam memahami dan mengimplementasikan Islam yang menjadi pondasi substansi orientasi bahkan juga cita-cita luhur gerakan Muhammadiyah termasuk di dalamnya berbicara tentang ideologi dalam Muhammadiyah itu satu paket dengan pemikiran keagamaan atau pemikiran Keislaman itu sendiri,” jelas Haedar.
Kedua, Muhammadiyah memiliki semangat Al-Ihya’ (menghidupkan) pada dakwah dan tajdid yang telah mati di kalangan umat, terutama pada aspek muamalah dunia. Dari segi ideologi, Muhammadiyah menurut Haedar bercorak reformis-modern sehingga lebih moderat dibandingkan gerakan-gerakan pemurnian bercorak revivalisme yang hanya sebatas aspek akidah dan fikih.
Mengutip pendapat Kuntowijoyo, gerakan Muhammadiyah bahkan memiliki tiga ciri utama, yakni liberasi (pembebasan), humanisasi (kemanusiaan), dan transendensi (kesadaran akan Tuhan).
Ketiga, Muhammadiyah disebut memiliki ideologi teologis Al-Ma’un yang melembaga pada seluruh institusi dan gerakan yang dimilikinya.
Misalnya lewat rumah yatim, rumah sakit, sekolah, hingga program-program pemberdayaan yang sifatnya inklusif tanpa membeda-bedakan latar belakang orang yang ditolong.
“Maka bisa Bapak Ibu lihat kenapa Muhammadiyah sekarang punya ribuan sekolah, TK ABA, kemudian lembaga pendidikan tinggi, rumah sakit dan disebut sebagai organisasi Islam terbesar di dunia dibanding yang lain. Ya karena orientasi amaliahnya sebagai satu kesatuan dari pandangan tajdid yang bersifat dua dimensi itu dan reformisme dan modernisme,” terang Haedar.
“Dari sini saja saya sudah bisa memberikan satu kesimpulan pada bapak ibu sekalian tentang distingtif, sesuatu yang berbeda atau sesuatu yang khas dari Muhammadiyah yakni ideologi modernis, ideologi reformis, ideologi tajdid yang semuanya itu menafsirkan Al-Quran dan As-sunnah dengan pendekatan yang di belakang hari oleh Tarjih dirumuskan dengan tiga pendekatan; bayani, burhani dan Irfani.
Tiga pendekatan itulahyang dilakukan Kiai Dahlan dan ini tidak ada di gerakan-gerakan revivalisme Islam,” pungkas Haedar sembari berpesan agar warga Persyarikatan rajin mengulas dokumen-dokumen resmi pemikiran Persyarikatan Muhammadiyah.
Advertisement