Peneliti LIPI Ungkap Islam Berkemajuan Sekaligus Kosmopolitan
Peneliti LIPI Ahmad Najib Burhani mengungkapkan, jargon Islam berkemajuan dapat dipahami melalui konsep Islam kosmopolitan. Sangat tidak mungkin memahami makna “berkemajuan” tanpa dibarengi dengan sikap “kosmopolitan.”
Keduanya, antara menjadi “berkemajuan” dan “kosmopolitan” seperti dua sisi yang saling berhubungan.
“Muhammadiyah memilih narasi Islam berkemajuan sebagai wujud ideologi global, termasuk di dalamnya mencakup sikap kosmopolitan sehingga warga persyarikatan mampu berdialog lintas peradaban,” ungkap Najib Burhani.
Najib mencontohkan, implementasi “berkemajuan” sekaligus “kosmopolitan” tersebut di antaranya adalah melihat perbedaan cara pandang, agama, suku, pengalaman keagamaan dan praktik ibadah sebagai sesuatu yang memperkaya keragaman kehidupan.
Bagi seseorang yang telah matang cara beragama dan meyakini kebenaran yang hakiki, pantang baginya merasa perlu menghakimi ideologi atau keyakinan yang dijalankan oleh orang lain. Sehingga tidak terjebak dalam praktik takfiri, yakni menganggap orang lain sesat.
Padahal, “sesat” itu sendiri bisa berkonotasi politis, sosiologis, atau teologis. Tidak hanya satu aspek. Ketika kita menyebut seseorang sebagai “sesat” atau “kafir” implikasi pernyataan tersebut bisa sangat serius.
Kader Muhammadiyah bergelar Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, M.A., Ph.D, ini menyampaikan catatan singkat Diskusi Langgar Kidul PC IMM Bantul pada Senin 15 Februari 2021.
Menurutnya, sebagai cara pandang global, “Islam Berkemajuan” juga mengacu pada gagasan bahwa warga Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia. Artinya menjadi warga Muhammadiyah haruslah merasa sebagai suatu komunitas global. Tidak terkungkung atau merasa terisolasi dari perkembangan dunia.
"Sehingga apa pun persoalan global yang menimpa umat manusia, warga Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk bersolidaritas. Dengan demikian, misi kemanusiaan Muhammadiyah menjadi semakin luas konteks dan cakupannya," tutur lelaki kelahiran Blitar ini.
Najib mengatakan, berkemajuan adalah perspektif yang melihat semua umat manusia itu sebagai umat yang satu, bagian dari pada komunitas tunggal bukan kelompok-kelompok terbelah karena warna kulit, entnis, pandangan ideologi, tempat dan negara. “Adapun kriteria Islam kosmopolitan, di antaranya adalah pengakuan terhadap perbedaan kultur. Bahwa masa depan umat manusia itu bisa bermacam-macam dan memiliki gagasan yang berbeda-beda tentang masa depannya masing-masing,” terang Najib.
Berdasarkan perspektif Islam kosmopolitan, seluruh warga dunia memiliki rasa solidaritas kemanusiaan universal dan tanggung universal serta ingin kepada melihat umat manusia itu sebagai komunitas yang tunggal.
Menurut Najib globalisasi memaksa umat muslim supaya tidak bisa hanya fokus pada satu bangsa atau agama saja, bahkan hanya satu bentuk komunitas atau organisasi saja. Najib mencontohkan problem wabah Covid-19 yang seharusnya mampu membangkitkan kerjasama lintas agama, negara dan bangsa.
Wabah Covid-19 tidak bisa diselesaikan dengan perspektif hanya untuk menyelamatkan kelompoknya masing-masing. Wabah Covid-19 juga tidak bisa ditangani tanpa ada partisipasi dan saling-jaga antar sesama warga. Kita membutuhkan solidaritas yang solid dan berkelanjutan.
“Nah, itulah pentingnya wawasan berkemajuan, saling berbagi solusi dan berbagi kekuatan,” kata Najib.
Advertisement