Berjualan Sesuai Protokol Kesehatan Demi Nafkahi Keluarga
Pasar Cukir di Jombang, Jawa Timur, setiap sore dipadati puluhan pedagang takjil. Mereka tak lupa menerapkan protokol kesehatan selama pandemi corona (Covid-19) dengan mengenakan masker dan rajin cuci tangan.
Sugimin, pedagang papeda telur puyuh tetap mengikuti imbauan dari pemerintah kala berjualan. Bapak lima anak itu tetap berusaha menjaga kesehatan selama mencari nafkah.
“Ya ini kan sesuai dengan aturan pemerintah, buat jaga kesehatan juga,” kata Sugimin kepada Ngopibareng.id, Senin 4 Mei 2020.
Sugimin mengaku takut tertular corona. Tapi dia tidak punya pilihan karena dapur harus terus mengepul. Berjualan papeda telur puyuh adalah mata pencahariannya satu-satunya.
Tak pernah terbayang di benak Sugimin akan berjualan dengan kondisi seperti ini. Dagangannya mendadak sepi pembeli. Penghasilan ikut turun 50 persen.
Sugimin mangkal berjualan di Pasar Cukir sejak 20 April 2020. Sebelumnya, ia berkeliling ke sekolah-sekolah untuk memasarkan jajanannya. Mulai dari Desa Cukir, Seblak, Kayangan, Bendet, hingga Gebang.
Sugimin pun sempat berjualan di depan rumahnya lantaran pandemi Corona. Sekolah tempat untuk mencarinya nafkah ditutup per 16 Maret 2020. Pasar Cukir dipilih untuk mengais rejeki karena jalanannya ramai orang.
“Saya biasanya berjualan keliling di sekolah-sekolah di wilayah Diwek. Sempat jualan di rumah juga, tapi berhubung ini puasa dan pandemi saya coba berjualan di depan Pasar Cukir karena ramai," ungkapnya.
Setiap hari Sugimin berangkat dari rumah pukul 16.00 WIB. Waktu yang ditempuh berjalan kaki dari rumahnya menuju lokasi selama sepuluh menit. Dalam sekali produksi, Sugimin membutuhkan tepung tapioka, telur puyuh, dan bumbu dapur atau penyedap rasa. Telur puyuh ini didapatnya dari pelanggan tetapnya.
Sebelum pandemi corona, Sugimin bisa menghabiskan 300 telur puyuh dalam sehari. Kini, penghasilannya menurun drastis. Hanya 10 sampai 15 telur puyuh yang habis terjual.
"Per 100 telur saya untung Rp 30.000. Sekarang yang beli sepi. Biasanya anak-anak sekolah yang banyak beli," aku Sugimin.
Papeda telur puyuh Sugimin kalah bersaing dengan jajanan takjil yang berjualan di sebelahnya. "Mau jualan panganan lain tidak ada modal," katanya.
Di kondisi ekonomi yang sulit ini, Sugimin beruntung bisa dibantu sang istri, Sumiyati yang ikut jualan papeda telur puyuh di rumah. Tak banyak yang bisa mereka harapkan, uang yang terkumpul dari dagangan Sumiyati hanya Rp 25.000. Itupun jika ada yang membeli.
Kondisi ekonomi keluarga ini semakin diperparah dengan ketiga anaknya yang menumpang di rumah. Mereka jadi korban PHK saat pandemi Corona.
“Ini ketiga anak saya juga ikut makan saya walau sudah berumah tangga. Mereka mengandalkan makan dari saya dan istri saya. Mereka juga mau kerja apa, saat ini sulit mencari kerja,” tambahnya.
Sugimin hanya berharap tidak ada razia Satpol PP selama dirinya berjualan di pinggir jalan. “Saya juga berdoa semoga (pandemi) Corona segera berlalu biar kondisi bisa normal lagi. Saya bisa kerja, anak sekolah bisa belajar lagi,” tutupnya.
Senada dengan Sugimin, Slamet pedagang es dawet di kawasan Pasar Cukir juga menerapkan protokol kesehatan denga menggunakan masker dan rajin cuci tangan.
“Sebenarnya takut juga harus jualan saat Corona, karena inilah sumber rejeki saya. Saya juga antisipasi dengan menggunakan masker dan cuci tangan,” ujarnya.
Slamet bisa meraup untung Rp 45.000 per harinya. Jumlah ini menurun 50 persen dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.
"Saya biasanya berjualan keliling ke kampung-kampung dan sekolah-sekolah. Hari Minggu atau tanggal merah, saya membuka lapak di kawasan makam Gus Dur," tuturnya.
Namun, selama pandemi Corona makam Presiden ke-4 RI itu ditutup untuk mencegah terjadinya penyebaran virus. Oleh karena itu, Slamet memilih berjualan di depan Pasar Cukir karena warga biasa jajan takjil selama Ramadhan.
Pria asli Balongbiru ini membuka lapaknya pukul 16.00-17.25 WIB. Dalam sekali produksi Slamet bisa menghabiskan tiga perempat kilogram tepung aren, seperempat tepung beras, dan dua buah kelapa parut untuk santan.
Selain itu, ia juga butuh satu setengah hingga dua kilogram gula merah, gula putih dan gula kelapa. Jumlah ini berkurang hampir setengah dari total yang dihabiskan pada hari biasa.
Sebungkus dawet dibanderol harga Rp 3.500. "Harga ini sudah mengalami kenaikan lima kali. Bahan-bahannya juga naik," aku Slamet.
Ide berjualan dawet dari teman Slamet. Sebelumnya, ia berjualan bubur kacang hijau yang diproduksi tetangganya. "Sebelumnya, saya juga buruh pabrik mainan. Tapi saya mulai jualan keliling sejak 2007," sambungnya.
Slamet merupakan tulang punggung keluarga. Istrinya hanya di rumah sebagai ibu rumah tangga. Sayangnya di tengah kondisi sulit ini, Slamet mengaku belum merasakan bantuan dari pemerintah. Bahkan, ia belum didata oleh perangkat desa setempat.
“Ini belum ada pendataan terkait bantuan dari pemerintah atas yang terdampak. Saya juga kurang mengetahui masalah itu,” aku Slamet.
Kendati demikian, Slamet menyadari bahwa wabah ini adalah cobaan dari Tuhan. Dia bisa menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada. Harapannya, corona segera berakhir agar kondisi pulih seperti sedia kala.
“Ya ini wabahnya semoga segera selesai, biar normal lagi kaya dulu,” tutupnya.