Berislam yang Sejati Melahirkan Manusia Demokratis dan Humanis
Antara Islam dan Demokrasi sebenarnya tidak ada kontroversi. Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, keduanya tidak ada kontroversi dan pertentangan yang terus menerus diperdebatkan.
“Tidak perlu ada pertanyaan demokrasi itu kompatibel dengan Islam atau tidak. Karena sesungguhnya ber-Islam yang sejati itu menimbulkan manusia yang demokratis dan manusia yang humanis,” ucap Mu’ti, dalam keterangan dikutip Sabtu 17 Oktober 2020.
Kekinian, demokrasi dibajak oleh elite yang menggunakan demokrasi itu sebatas pemilihan untuk mendapatkan kekuasaan. Demokrasi disisi lain juga menimbulkan inequality, perbincangan mengenai ketidakadilan bukan hanya dibicarakan pada tingkat nasional, melainkan pada tataran global juga mengalami hal serupa.
“Ternyata demokrasi juga tidak bisa mengurangi bahkan mungkin menghapus korupsi, karena yang terjadi justru di era demokrasi ini korupsi luar biasa masif,” imbuhnya.
Menurutnya, terjadinya distorsis demokrasi di Indonesia dikarenakan saat ini demokrasi lepas dari tiga nilai dasarnya, yakni emansipasi, meritokrasi dan pluralisme.
Ketiganya ini menjadi nilai penting, karena demokrasi tidak sekadar sistem politik, tapi suatu sistem nilai yang dengannya bisa dibangun kesejahteraan dan peradaban suatu kelompok masyarakat.
“Nilai emansipasi itu menegaskan adanya egalitarianisme dan kemanusiaan, di mana manusia memiliki kedudukan yang sama harus saling menghargai dan saling memperkuat satu sama lainnya,” tuturnya.
Selajutnya nilai meritokrasi yang memberikan apresiasi atas prestasi dan menjamin adanya keadilan. Kemudian nilai pluralisme menjamin adanya kolaborasi, sharing, caring, dan tanggung jawab bersama.
Sehingga jika mengkaitkan tiga nilai dasar itu, sesungguhnya merupakan tiga nilai yang ada dalam ajaran agama Islam.
Namun idealitas demokrasi pasca reformasi, menurut Mu’ti perlu untuk direfleksi. Dalam konteks realita demokrasi Indonesia saat ini, demokrasi masih menjadi perdebatan jika dianggap sebagai sistem politik yang ideal.
Bukan hanya di Indonesia, Mu’ti menyebut bahkan pada masyarakat dunia yang pro demokrasi juga melihat demokrasi mulai melemah.
“Banyak yang melihat demokrasi mulai melemah, misalnya tulisannya Niheer Dasandi dalam bukunya is Democracy Failing,”katanya.
Dalam Webinar Seri VI “Islam dan Demokrasi: Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan Belanda di Jakarta, Erasmus Huis, untuk mengenang pemikiran A.E. Priyono ini, Mu’ti menyebut almarhum mungkin saat ini gelisah dengan masa depan demokrasi di Indonesia.
Pasalnya, di tengah wabah pandemi covid-19 sekarang ini Pilkada masih tetap diselenggarakan, UU Omnibus Law tetap dipaksakan untuk disahkan, mereka yang memiliki sikap kritis tidak memiliki rasa aman untuk menyampaikan pendapatnya, korupsi merajalela, berbagai pelanggaran HAM begitu rupa dan kasat mata, kesenjangan semakin mengangah, dan banyak lagi yang lainnya.
“Melihat situasi ini saya membayangkan Mas A.E gelisah di surga. Tapi juga Mas A.E bahagia di surga, karena melihat pemikiran-pemikirannya menjadi amal jariyah yang memberikan jalan bagi siapapun yang memperjuangkan demokrasi,” kata Mu’ti.
Bertahan dengan idealisme, Mu’ti melihat A.E sebagai sosok yang teguh dalam prinsip yang tidak mudah untuk dilakukan. Almarhum memilih jalan sunyi itu sebagai komitmen terhadap kebaikan kemanusiaan dan demokrasi untuk kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.