Wajah Kita di Media Sosial; Keras, Memelas atau Bikin Lemas
Dua minggu ini, media kita dibombardir berita tentang “Ikan Asin” di Jakarta. Isinya hanya komentar Rey Utami, Pablo Benua, Galih Ginanjar, hingga para pengacaranya. Semua bermula dari postingan Rey dan Pablo di akun media sosial mereka: “Mulut Sampah” di channel Youtube.
Galih sebagai nara sumbernya. Tapi postingan itu berbuntut panjang. Fairuz A Rafiq, mantan istri Galih tak terima dengan ucapan “ikan asin” itu. Karena dianggap melecehkan harkat perempuan dan menimbulkan trauma kepadanya dan keluarga.
Anak maestro dangdut A Rafiq itu pun melapor ke Polisi. Beberapa pemeriksaan dilakukan. Status terakhir, baik Rey, Pablo, dan Galih jadi tersangka dan ditahan.
Lantas ada Ida Fitri, pemilik akun Facebook Aida Konveksi di Blitar, Jawa Timur. Dia memposting foto mumi berwajah mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi). Imbasnya, dia ditetapkan menjadi tersangka dugaan penghinaan kepada Pak Jokowi.
Yang terbaru, publik digegerkan dengan kasus mutilasi di Banyumas, Jawa Tengah. Korbannya, seorang ibu rumah tangga dari Bandung. Pembunuhnya, bernama Deni. Kepada Polisi, Deni mengaku, keduanya berkenalan lewat Facebook.
Semua peristiwa itu membuat kita semua mabuk kepayang. Apa yang tejadi dengan dunia modern juga perilaku masyarakatnya? Sebesar apa efek media sosial bagi kita?
Memang, selama dekade terakhir, platform media sosial menembus ke jantung mekanisme kehidupan sehari-hari. Tentu saja, itu berpengaruh pada interaksi informal masyarakat. Termasuk rutinitas, kondisi, serta aturan interaksi sosial.
Jangan lupa, media sosial punya logikanya sendiri. Banyak penelitian yang menuturkan, ada empat prinsip dasar logika media sosial. Pertama, programabilitas, yakni kemampuan untuk mengubah sesuatu. Lantas, popularitas, atau keterkenalan.
Ketiga, konektivitas, alias mampu jadi pengubung segala sesuatu. Karenanya, dia mampu menyebarkan wacana yang kuat melebihi batas. Membekap juga menembus sekat.
Dan yang keempat, ada datafikasi, trend teknologi yang mengubah banyak aspek kehidupan ke dalam data. Lantas, big data itu dipindahkan menjadi informasi baru. Data itu yang akan membentuk nilai dan praktik kehidupan baru.
Parahnya, prinsip ini juga menjerat media masa konvensional. Jadi jangan heran, kalau apa yang ramai di media sosial, bisa lebih diramaikan oleh program televisi, radio, atau media cetak. Dibikin lebih heboh lagi. Semua berkelindan erat.
Tentu saja, tak bisa dipungkiri, ada sisi lain internet dan media sosial. Mari kita tenggok beberapa peristiwa penting. Dari “Arab Spring”, perlawanan terhadap Pemerintah Ukraina, hingga demonstrasi besar di Hong Kong. Semua sangat bergantung pada sumber daya media sosial.
Apalagi kalau bukan sebagai instrumen memobilisasi masa. Tak heran, sewaktu dua hari aksi di Gedung Bawaslu Jakarta terkait hasil Pemilu 2019, Menkominfo bergerak sigap. Menghambat akses aplikasi WA dan Facebook.
Oh ya, banyak juga yang meyakini, dunia jaringan media sosial berpotensi mempromosikan hal baik. Dari partisipasi publik, keterlibatan, atau proses demokratisasi. Yang juga penting, ekosistem ekonomi digital juga tumbuh subur.
Sebenarnya, semua tergantung niatnya. Karena, ekosistem ini juga bisa menghidupi beragam kepentingan. Misalnya, terkait paham ideologi atau politik tertentu.
Di Barat, media sosial juga direpresentasikan sebagai teknologi yang kuat dalam menghasut kaum muda. Terutama terkait terorisme. Seringkali muncul, "terorisme dadakan”.
Istilah ini merujuk kuatnya media sosial mengubah kaum muda yang bingung. Ketika mereka sedang berusaha meyakini paham sesuatu. Lantas mereka menjadi lebih ekstrim.
Hal itu terjadi karena kaum muda menikmati ruang ekspresi, semangat, juga berinteraksi dengan mereka yang bersentimen sama. Interaksi inilah yang akhirnya memunculkan simbol baru, ritual baru, ide baru, serta identitas baru. Ekspresi dalam ranah online, yang akhirnya menstimulasi perilaku offline di dunia nyata.
Contoh yang paling menyesakkan dada, peristiwa pembunuhan masal di dua buah masjid di Christchurch, New Zealand. Saat salat Jumat sedang berlangsung pada 15 Maret lalu. Di siang yang laknat itu, Brenton Tarrant, membunuh 49 orang jamaah. Puluhan lainnya cedera.
Bahkan, dia menyiarkan kegilaanya itu, secara langsung dalam akun facebooknya. Sehingga, saat itu, seluruh dunia menyaksikan betapa dingin darahnya. Konon, dia terbekap semangat supremasi kulit putih.
Walau, motif itu masih juga dipertanyakan. Tapi peristiwa itu telah menebar teror dan trauma ke penjuru dunia. Juga memunculkan perlawanan atas kebiadaban ini.
Sebenarnya tak cuma paham radikal, urusan pornografi juga menyeruap di ruang-ruang sepi media sosial. Percakapan, cerita, foto, hingga video erotika. Bisa dengan gampang ditemukan, oleh mereka yang suka.
Dalam riset yang dilakukan The Nielsen Company di Amerika pada 2010, angka dibalik urusan kelemasan urat ini bisa bikin terperanjat. Setiap detik, ada putaran uang sebesar $3,075.64 sekira hampir 49 juta rupiah. Ada 28.258 orang yang melihat pornografi di internet.
Tercatat, 372 orang mengetik kata “dewasa” di mesin pencari. Itu riset di tahun 2010. Bisa dipastikan di tahun 2019 ini, angkanya naik berkali lipat.
Jadi secara fungsi, media sosial dan internet, hanyalah alat semata. Semua ekosistem entah baik dan buruk difasilitasi. Dia bak cermin yang bahkan menyimpangkan panca indera kita.
Akhirnya, semua tergantung kepada kita. Sekreatif apa menggunakannya. Termasuk sejauh mana motif dan kebutuhannya.
Yang diperlukan adalah memantapkan hati. Agar tak sesat pikir, tak bimbang melangkah, atau tunduk pada amarah.
Ajar Edi, kolumnis “UjarAjar” di ngopibareng.id