Bergerakkan ke Depan dan Jangan Berhenti, Pesan Ulama Pesantren
Orang Jawa mengenal pesan-pesan "Obah ben owah". Artinya, ada perubahan bila kita bergerak. Begitulah selaras dengan nilai-nilai Keislaman.
KH Husein Muhammad, Pengasuh Pesantren Dar-el Quran Arjawinangun Cirebon, yang sahabat KH Abdurrhaman Wahid menyampaikan renungannya yang cukup indah:
Seorang teman berharap aku mengurai sedikit quote sebelum ini. Maka aku menulis ini lagi:
Seorang sufi besar, Ibn Athaillah Assakandari menyampaikan kata-kata menarik :
لا ترحل من كون إلى كون فتكون كحمار الرحى يسير والمكان الذي ارتحل إليه هو الذي ارتحل منه ولكن ارحل من الأكوان إلى المكون (وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى)
"Janganlah kau bergerak dari satu ruang ke ruang yang sama. Kau akan seperti komidi putar (korsel), di mana arah yang dituju adalah titik awal ia bergerak. Bergeraklah dari dunia hari ini di sini kepada Penciptanya. "Hanya kepada Tuhanmulah titik segalanya berakhir dan tak kembali’.
Hukum alam mengatakan bahwa roda zaman akan terus bergerak ke depan meninggalkan masa lalu semakin jauh dan semakin jauh. Air akan terus mengalir ke depan dan tak mungkin kembali ke asal.
Perubahan, pergantian dan pembaruan adalah niscaya. Tak seorangpun bisa menghentikannya, dengan cara apapun. Siapa yang berhenti akan digilas roda kehidupan. Diam berarti kematian.
Manusia-manusia yang bekerja untuk masa depan kemanusiaan akan eksis. Mereka yang hanya pandai teriak-teriak menyeru agar kembali ke masa lalu dan menyalahkan yang lain yang inovatif dan kreatif, niscaya bagaikan buih yang perlahan-lahan akan hilang lenyap tanpa makna, ditelan dan dihempaskan gelombang zaman.
Allah berfirman :
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ
"Buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak berarti. Tetapi yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap eksis di bumi".
Demikian renungan KH Husein Muhammad (12.07.23/HM)
Refleksi Kegelisahan Membaca Realitas
Renungan dari K.H. Husein Muhammad dalam buku Islam Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan merupakan pancaran kegelisahan, endapan, dan semangat yang didapatkan dalam melihat permasalahan umat manusia saat ini. Renungan ini tidak hanya berupa esai-esai yang lahir dari pergulatan pemikiran, tetapi juga pancaran hati sang Kiai untuk memberikan pencerahan bagi santri dan murid-muridnya, yaitu seluruh manusia yang menginginkan pencerahan dalam beragama.
Esai-esai Kiai Husein dalam buku ini penuh dengan cinta, tidak menohok dengan serangan tajam, tetapi mengingatkan dengan refleksi yang berbobot. Kiai Husein juga menghadirkan renungan yang tidak hanya umat Muslim, tetapi juga lintas agama. Buku ini mengandung makna Islam yang ia pahami sebagai agama cinta, agama yang memberikan pencerahan, bukan dengan kemarahan.
Mengaji dari Kiai Husein, melalui apa yang ditulisnya dalam buku Islam Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan akan mengantarkan pembaca untuk memahami Islam yang berselimut sutra keindahan dan memancarkan pencerahan.
Di dalam renungan Kiai Husein, Islam merupakan agama pencerahan yang hendaknya dipahami dengan segala dinamika dan diversifikasi tafsirnya, bukan mengekalkan pada tafsir tunggal yang berselubung kepentingan dunia dan hasrat kekuasaan. Islam yang diajarkan dengan cinta, keindahan, dan pencerahan inilah yang menjadi ruh esai-esai Kiai Husein. Buku ini juga akan menjelaskan mengenai konteks perjuangan Muhammad Abduh sebagai pembaharu keilmuan kaum muslim. (Penerbit).
Pembaruan Hukum sebagai Keharusan Sejarah
Konon, pintu ijtihad tertutup rapat secara resmi sejak adanya keputusan Khalifah al-Mustashim Billah yang melarang para ulama fiqh di Madrasah al-Mustanshiriyah mengajarkan fiqh selain madzhab empat (Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali). Keputusan-keputusan hukum selanjutnya didasarkan dan berada dalam siklus yang berulang-ulang pada produk pemikiran para ulama madzhab empat tersebut. Aktivitas intelektual kaum Muslimin hanya menghafal dan mengulang-ulang. Kritisisme terlarang. Penelitian mandek. Dan, keadaan ini berlangsung selama berabad-abad sampai hari ini.
Tetapi, benarkah pintu ijtihad benar-benar telah tertutup? Bukankah Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya, Allah membangkitkan untuk umat ini seorang yang akan memengaruhi agamanya pada setiap seratus tahun. Bukankah pasca imam yang empat, muncul para mujaddid lain seperti Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Syah Waliyullah ad-Dahlawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, atau Jamal al-Banna?
KH. Husein Muhammad menghimpun sejumlah tulisan cerdas dan kritis mengenai isu tersebut yang ditulis oleh beberapa pemikir hukum Islam, seperti Muhammad al-Madani (Mawathin al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah), Said Muinuddin Qadri (At-Taqlid wa at-Talfiq fi al-Fiqh al-Islami), Yusuf al-Qardhawi (Al-Ijtihad wa at-Tajdid baina Dhawabith asy-Syariyyah wa al-Hayat al-Muasharah), disertai analisis tambahan dari KH. Husein Muhammad sendiri.
Pada akhir bukunya K.H. Husein memaparkan salah satu versi dari gagasan ‘fikih baru’. Yakni “Nawha Fiqh Jadid” (Menuju Fikih Baru) yang ditulis oleh Jamal al-Bana adik kandung Hasan al-Bana pendiri Ikhwanul Muslimin. Suatu gagasan pembaruan fikih yang lahir sebagai bentuk kritik dan gugatannya terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan yang dianggap konservatif, tradisionalis dan fundamentalistik.
Disajikan dengan sangat komprehensif, dan gaya bahasa yang lugas, buku “Menuju Fiqh Baru” yang ditulis K.H. Husein Muhammad, menjadi cukup ringan untuk dibaca maupun dipahami. Buku ini juga menjadi cukup relevan dan tepat dalam membantu pembaca menemukan jawaban-jawaban atas apa yang menyebabkan kejumudan dunia fikih Islam dan apa saja jalan-jalan yang sangat mungkin untuk ditempuh dalam menghadapinya. Sudah saatnya kita luangkan waktu untuk membacanya.
Penerbit (15.07.23/HM)