Bergerak Sedari Muda, Kaum Milenial Contohlah Kiai Dahlan
Penggiat Heritage Muhammadiyah Jogja, Ghifari Yuristiadhi, mengatakan, KH Ahmad Dahlan sebagai “man of action”, dan milenialis yang mendobrak kejumudan pada zamannya.
"Kebanyakan dari kita mengenal Kiai Dahlan sebagai orang yang sudah tua," tuturnya, dalam keterangan Minggu 11 Oktober 2020.
Menurutnya, imajinasi kita pun melihat Kiai Dahlan sebagai Kiai Bijak yang sudah Sepuh. Namun, sesungguhnya Kiai Dahlan sudah bergerak dan berbuat banyak ketika usia beliau masih sangat muda.
Saat usia 28 tahun, tepatnya tahun 1896 Ia sudah ditunjuk untuk mengantikan jabatan KH. Abubakar (ayahnya) sebagai Khatib Amin Masjid besar Yogyakarta dan genap di usia 44 tahun KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
“Memang beliau mendirikan Muhammadiyah di usia 44 tahun, namun progresifitas Kiyai Ahmad Dahlan sudah nampak sejak muda. Dan beliau berhaji pertama di usia 20 an tahun, setahun setelah menikah (1890),” ungkap Ghifari Yuristiadhi dalam Podcast yang diselengarakan oleh Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, belum lama ini.
Sementara itu, proses KH. Ahmad Dahlan di’kiyai’kan oleh masyarakat sekitarnya adalah ketika ia dilibatkan oleh ayahnya untuk mengajar di Langgar Kidul.
Sepeninggal ayahnya, kemudian Kiai Dahlan ditunjuk untuk mengantikannya sebagai Khatib Amin.
Ghifari menyebut, saat memegang jabatan sebagai Khatib Amin ini Ahmad Dahlan banyak mengaplikasikan gagasan-gagasannya.
“Selang sekitar 2 tahun setelah dianggkat, Kiai Dahlan mempunyai satu ide. Di mana ada banyak kiai dan ulama di wilayah Kasultanan Yogykarta yang menduduki masjid-masjid Patok Negoro dan masjid miliki sultan. Mengajak mereka, beliau mengagas Musyawarah Ulama,” tuturnya.
Penggiat Heritage Muhammadiyah Jogja ini menuturkan, gagasan yang miliki oleh Kiyai Dahlan tersebut merupakan suatu yang baru dan genial di masa itu. Menurutnya masih amat jarang di zaman tersebut, yaitu gagasan untuk menyatukan pendapat-pendapat ulama dalam satu forum untuk satu frame sama dalam membahas sesuatu.
Ahmad Dahlan merupakan ulama yang memiliki kepakaran dalam ilmu falak, melalui kemampuan tersebut ia kemudian mengumpulkan para ulama untuk memperbaharui arah kiblat masjid-masjid yang mereka pimpin. Namun, gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Dahlan mental dan ditolak oleh para ulama yang hadir.
Meskipun ditolak para ulama-ulama tua yang hadir, gagasan yang disampaikan dan memiliki sandaran keilmuan serta dijelaskan secara sistemik tersebut diterima oleh kaum muda yang saat itu membantu menjadi panitia penyelengara forum tersebut. Bukan hanya menyampaikan ide, namun Kiai Dahlan melakukannya dengan mempugar arah Langgar Kidul, peninggalan ayahnya.
Dalam acara tersebut juga dijelaskan bahwa, selain sebagai manusia amal. Kiai Dahlan juga seorang jurnalis. Dikutip dari yang pernah disampaikan oleh Ahmad Adaby Darban, KH. Ahmad Dahlan juga merupakan penulis.
Biasanya dalam menulis, Kiai Dahlan sering memakai nama pena seperti khatib amin jogja dan HAD. Sumber ini bisa dilacak di perpustakaan di Leiden, Belanda.
Ketika kesehatan Kiai Dahlan semakin memburuk pada tahun 1922, gagasan genuin yang dimilikinya terus sehat, segar dan berkembang. Karena telah diinternalisasi dan dijalankan oleh murid-muridnya yang sekaligus sebagai “kader inthilannya”.
Nilai-nilai yang dibawakannya adalah untuk menerjemahkan Agama Islam sebagai aktivitas yang real.
Kepada milenialis Muhammadiyah yang ingin meneruskan perjuangan Kiyai Dahlan, Ghifari berpesan untuk terus meningkatkan critical thinking dengan menghadirkan problem solving pada sebuah permasalahan masyarakat.
Sementara itu, menyikapi generasi Z yang memiliki jiwa voluntarism, kedermawanan dan sukarelawanan, serta tidak suka terikat secara formal-struktural, Muhammadiyah diminta supaya lebih fleksibel dan memberi ruang yang cukup bagi mereka untuk berkembang.