Beredar, Daftar Pimred Media yang Diajak KKP ke Luar Negeri
Beredar di media sosial daftar nama pemimpin redaksi (Pimred) media nasonal yang pernah diajak "Jalan-jalan" oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ke luar negeri lengkap dengan biaya.
Potongan dokumen itu diunggah di media sosial twitter, facebook, instagram dan Whatsapp oleh akun @suara_bawah dengan nama pemilik Arya Baruna.
Dalam daftar itu, nama-nama pimpred media dibagi dalam beberapa kelompok dengan tujuan negara yang berbeda. Di antaranya Amerika Serikat, Perancis, Itali, Jepang, Uni Emirat Arab, Norwegia, Paris, Polandia, Monaco serta, Denmark.
Dalam daftar peserta kunjungan KKP ke luar negeri tersebut diikuti nama perwakilan dari Kompas, Tempo, Metro TV, Detik, Kumparan, TVOne dan Jakarta Post, yang lengkap dengan biaya yang nilainya puluhan hingga ratusan juta perorang.
Bebeberapa nama peserta kunjungan kerja KKP keluar negeri ketika dikonfirmasi, mengatakan tidak mengerti tujuan diedarkan nama-nama media peserta kunjungan kerja KKP ke luar negeri bersama Menteri Kelautan dan Perikanan. Mereka juga mempertanyakan mengapa baru dimunculkan sekarang.
Kemudian, ada yang mengaitkan dengan pemberitaan Majalah Tempo yang membombardir KKP tentang kebijakan dilegalkannya ekspor benur, dimana era menteri sebelumnya dilarang.
Salah seorang daftar nama yang dicatut ikut jalan-jalan ke luar negeri adalah Wahyu Muryadi (dalam daftar tertulis dari media Tempo TV). Saat dikonfirmasi Wahyu membenarkan adanya kunjungan kerja bersama KKP.
"Tidak ada yang salah, wartawan yang diundang tetap menjaga independensi dan netralitas," kata Wahyu, ketika dikonfirmasi ngopibareng.id Senin 6 Juli 2020 malam,
Mantan staf khusus Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid ini mengatakan, peristiwanya 2 sampai 3 tahun yang lalu. Saat itu, KKP mengundang sejumlah media untuk meliput acara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di forum-forum internasional seperti Ocean Conferrence, World Ocean Summit yang diselenggarakan badan-badan dunia seperti PBB, Kennedy School di Harvard.
Menteri Susi menjadi pembicara utama dalam event bergengsi tersebut, membawa nama harum negara dan bangsa saat RI dianggap champion dalam kebijakan memberantas illegal fishing atau penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan kapal-kapal asing.
"Mereka selama ini menjarah laut kita tanpa bisa dihalau siapapun, dan kini selama pemerintahan Presiden Jokowi, atas dukungan penuh beliau, Menteri Susi dinilai sukses memberantas kejahatan trans-nasional yang terorganisir ini dengan menenggelamkan 500-an kapal asing," katanya.
Tentu, lanjut Wahyu, ini kebijakan penting dan menjadi tonggak upaya pemberantasan kejahatan luar biasa bahkan sampai perbudakan manusia, penyelundupan binatang langka hingga narkoba.
Maka, menjadi saksi sebagai jurnalis akan tampilnya Menteri Susi sangat penting, bagaimana dia bicara lantang dengan upaya RI tersebut yang kemudian ditiru sejumlah negara lainnya.
"Saya dan tentunya teman-teman lainnya sama sekali tak merasa dirugikan dengan dibocorkannya data-data perjalanan dinas ke luar negeri tersebut, karena memang itu bukan perbuatan melawan hukum dan merupakan tugas jurnalistik yang bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi kenegaraan tanpa mengganggu independensi media masing masing," kata Wahyu.
Kata Wahyu, Susi bahkan tak pernah meminta agar peristiwanya diberitakan atau tidak diberitakan. Susi paham arti penting kemerdekaan pers, sebab itu diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan redaksional masing-masing.
"Meski harus diakui nilai berita untuk setiap perjalanan dan kebijakan Susi yang sejauh ini kami yakini sudah benar, tentunya sangatlah tinggi," ujarnya.
Saat ditanya mengapa baru dimunculkan sekarang? Bahkan viral di media sosial? Wahyu mengatakan, tanya saja yang membocorkan apa maksudnya hehe.
Apakah ini sengaja dimunculkan dengan tujuan insinuasi atas pemberitaan Majalah Tempo yang berjudul "Pesta Benur Menteri Edhy"? Kata Wahyu, sebaiknya kritik mereka melalui prosedur yang semestinya.
"Jika merasa dirugikan akibat pemberitaan tersebut, silakan ajukan hak koreksi atas data dan fakta yang tak benar (jika ada). Adukan ke ombudsman internal dan jika perlu adukan ke Dewan Pers. Sehingga jelas duduk soalnya siapa benar siapa salah," katanya.
Lanjut Wahyu, Dewan Pers tentunya akan bersikap profesional dengan mempertemukan kedua pihak dan jika medianya dinyatakan bersalah secara etik tentunya akan menjadi tamparan keras bagi media yang bersangkutan karena pelanggaran etik akan menurunkan kredibilitas media yang bersangkutan.
"Menempuh cara seperti ini jelas salah sasaran, ngawur, dan tak terpuji," kata Wahyu Muryadi.