Berebut Mempersilakan Orang Lain Jadi Imam Salat, Ini Dalilnya
Tak jarang kita menyaksikan seorang santri, di mana pun, ketika hendak melakukan salat berjamaah, berebut mempersilakan orang lain untuk menjadi imam. Bukan memperebutkan menjadi imam. Karena, setiap santri merasa dirinya kurang mampu, didasari sifat rendah hati yag dipelajari dari guru-gurunya. Padahal, secara ilmu lebih menguasai dibanding yang lain.
Memang, Imam merupakan sosok penting dalam kesuksesan Salat berjamaah. Seorang Muslim yang memiliki pengetahuan mengenai fikih Salat dan bacaan Al-Quran baik kerap menjadi pilihan dalam memimpin Salat.
Bagaimana seorang imam bisa ditunjuk dalam memimpin Salat?
Imam Syafii dalam Kitab Al-Umm berkata, sah bagi seseorang untuk meminta orang lain maju atau maju sendiri untuk memimpin Salat suatu kaum tanpa perintah dari wali (pemimpin) mereka yang biasa memimpin Salat. Ketentuan ini ber laku baik untuk Salat Jumat, Salat wajib atau Salat sunah.
Menurut imam yang bernama asli Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafii ini, penguasa adalah orang yang paling berhak memimpin Salat di wilayah kekuasaannya. Namun, kalau seorang wali menunjuk seseorang sebagai imam maka hal itu diperbolehkan. Imam Syafii beralasan, orang yang ditunjuk memimpin Salat atas mandat dari wali.
Meski menjadi penguasa daerah, ada kalanya wali tersebut berada di bawah ke kuasaan seorang khalifah. Dalam konteks saat ini, bisa dianalogikan sebagai camat dengan bupati, bupati dengan gubernur atau gubernur dengan presiden. Dengan demikian, khalifah atau presiden yang paling berhak menjadi imam. Hanya, jika wali atau khalifah bepergian ke luar negeri, dia menjadi sama dengan orang kebanyakan.
Bagaimana dengan keutamaan tuan rumah menjadi imam?
Imam Syafii mengisahkan, sekelompok orang di antara para sahabat Rasulullah SAW berada di sebuah rumah milik salah satu dari mereka. Ketika waktu Salat datang, si tuan ruamh meminta seorang dari mereka untuk men jadi imam. Orang yang diminta itu berkata,
"Majulah engkau karena engkau yang paling berhak menjadi imam di rumahmu." Tuan rumah itu pun maju.
Imam Syafii pun menjelaskan, adanya keutamaan tuan rumah menjadi imam di rumahnya sendiri. Imam Syafii memakruhkan seseorang diimami oleh orang lain tanpa perintahnya. Adapun jika itu dilakukan dengan perintahnya maka itu merupakan bentuk tindakan meninggalkan haknya atas keimanan.
Keutamaan lain, yakni pengetahuan dalam fikih, kemampuan membaca Al-Quran dan usia. Rasulullah bersabda, "Salat lah kalian seperti kalian melihat aku sha lat. Jika waktu Salat tiba maka hendaklah seorang dari kalian melakukan azan, dan hendaklah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian."
Dalam menyikapi hadis ini, Imam Syafii menjelaskan, mereka adalah satu kaum yang datang bersama-sama. Kualitas bacaan dan kefakihan mereka pun sama. Mereka lantas menunjuk pemimpin atau mereka diimami oleh orang yang paling tua di antara mereka; yang dengan senioritasnya itu dia menjadi yang paling tepat untuk memimpin mereka.
Berdasarkan prinsip ini, Imam Syafii menjelaskan tentang pertimbangan satu kelompok untuk menunjuk imam. Pertim bangan ini diambil ketika ada satu kaum berkumpul di satu tempat tanpa ada wali di antara mereka dan tak berkumpul di kediaman salah satu dari mereka. Hendak nya, mereka mengedepankan orang yang paling baik bacaannya, paling fakih, dan paling tua di antara mereka.
Jika semua sifat itu tak terhimpun pada seorang pun dari mereka, mereka harus memilih orang yang paling fakih. Dengan catatan, orang itu memiliki kemampuan membaca yang cukup bagi sahnya Salat.
Mereka bisa mengesampingkan faktor usia jika ada orang yang lebih fakih dan lebih baik bacaan Alquran. Faktor tambahan lainnya jika semua itu ada--fakih, baca Al-Quran dan senioritas--maka mereka bisa mempertimbangkan nasab terbaik. Imam Syafii beralasan, perkara menjadi imam adalah perkara kedudukan terhormat. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. "Dahulukanlah orang Quraisy dan janganlah kalian mendahului mereka."
Meski, jika tidak ada orang dengan nasab terbaik maka faktor fakih dan kemampuan baca Alquran yang menjadi pertimbangan. Dalam hal ini, Imam Syafii menjelaskan, budak pun bisa menjadi imam kalau dia adalah orang paling fakih di antara semua yang hadir.
Agaknya, Imam Syafii memang betul-betul menjaga pandangannya sesuai pesan Nabi. Pada sutu ketika, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) pergi menuju Bani Amr bin Auf untuk mendamaikan mereka yang tengah bersengketa. Semasa kepergian Nabi, tiba waktu Salat. Muazin pun mendatangi Abu Bakar as-Shiddiq untuk bertanya kepadanya. "Apakah engkau akan memimpin Salat orangorang agar aku dapat melantunkan iqamat?" Abu Bakar menjawab, "Ya."
Abu Bakar melaksanakan Salat sebagai imam. Setelah Salat itu dimulai, Rasulullah SAW datang ketika Salat berjamaah itu dimulai. Nabi yang mulia lantas beranjak sampai berdiri di dalam shaf. Melihat ada Rasulullah, jamaah Salat ber tepuk. Hanya, Abu Bakar tidak menoleh dalam Salatnya, meski orang-orang semakin ramai bertepuk.
Abu Bakar menoleh dan melihat Ra sulullah SAW memberi isyarat. Dia menunjukkan: Tetaplah di tempatmu! Abu Bakar kemudian mengangkat tangannya memuji Allah atas apa yang diperintahkan Rasulullah kepadanya. Abu Bakar mundur dan Rasulullah kemudian maju untuk memimpin orang-orang Salat.
Selesai Salat, Rasulullah bersabda, "Wahai Abu Bakar, apakah gerangan yang menghalangimu untuk tetap di tempatmu ketika aku perintahkan itu kepadamu?" Abu Bakar menjawab, "Tidaklah boleh Ibnu Abu Quhafah untuk melaksanakan Salat di hadapan Rasulullah SAW."
Rasulullah lalu bersabda, "Mengapa aku melihat banyak dari kalian yang bertepuk tangan untuk mengingatkan sesuatu dalam Salatnya? Hendaklah bertasbih karena jika bertasbih maka dia (imam) akan menoleh kepadamu. Sesungguhnya, tepukan untuk wanita."
Demikian semoga bermanfaat.