Berebut 'Kunci Surga' Pendukung Jokowi dan Prabowo
Pemilihan Presiden 2019 ternyata bukan hanya urusan dunia. Para pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto juga melibatkan urusan surga dan neraka dalam rangka mendulang suara.
Soal ini mencuat setelah juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin bicara tentang kunci surga jelang deklarasi Perempuan Prabowo. Dia bilang, jika mau masuk surga cinta sama Allah, Rasul dan Prabowo-Sandi.
Jauh hari sebelumnya, Farhat Abbas yang menjadi pendukung Jokowi juga bicara sama. "Yang Pilih Pak Jokowi Masuk Surga! Yang Gak Pilih Pak Jokowi dan Yang Menghina, Fitnah & Nyinyirin Pak Jokowi! Bakal Masuk Neraka!."
Pernyataan Farhat inilah yang direspon Novel. "Yang di sono, yang konci bukan sama Farhat, bukan, di sini. Masa masuk surga sama pendukung penista agama. Betul nggak?" kata Novel yang sering melontarkan pernyataan kontroversial seperti Farhat.
Nah, di depan ibu-ibu pendukung Prabowo di Jakarta, Novel pun jualan surga. "Bu, mau masuk surga? Cinta sama Allah, cinta sama Rasulullah, cinta sama Prabowo, cinta sama Sandiaga Uno. Betul? Takbir. Insyaallah masuk surga," tuturnya.
Fenomena rebutan "kunci surga" du ajang pilpres ini membuat prihatin sejumlah tokoh agama. Wakil Ketum MUI Zainut Tauhid Sa'adi mengingatkan agar timses masing-masing capres tak lagi melakukan politisasi agama.
"Kami meminta kepada timses masing-masing pasangan capres/cawapres untuk berhenti melakukan politisasi agama. Karena kalau dibiarkan akan mengancam terhadap agenda kebhinekaan kita," katanya kepada media.
Menurutnya, politisasi agama bisa membuat bangsa ini terbelah. Tidak hanya antara Islam dan non muslim saja, bahkan internal Islam pun dapat terbelah karena masing-masing memiliki klaim kebenaran terhadap masalah surga dan neraka.
Dalam kacamata dia, sebaiknya agama menjadi panduan dan penuntun dalam berpolitik. Bukan menjadikan agama sebagai alat politik. Jadi, kembalikan fungsi agama sebagai panduan dan penuntun dalam berpolitik.
Saya tidak tahu sejak kapan urusan "kunci surga" ini masuk dalam ranah politik praktis. Kalau dulu, yang ada hanyalah identifikasi kelompok pemilih dengan agama. Misalnya antara partai Islam, sekuler dan non Islam. Agama saat itu menjadi preferensi politik dalam menentukan pilihan politik seseorang.
Lantas bagaimana seharusnya politik Islam dijalankan? Saya menjadi teringat buku cendikiawan muslim dari UGM almarhum Dr Kuntowijoyo. Budayawan yang sangat dihormati di kalangan para ilmuwan dan tokoh agama di Indonesia ini menulis buku Muslim Tanpa Masjid.
Menjadikan agama sebagai alat politik, dalam kerangka berpikir Kuntowijoyo, sama dengan mengkungkung diri dalam cara berpikir petani. Cara berpikir yang menganggap ada musim tanam dan musim panen. Memperjuangkan kelompok dan tokoh yang didukungnya sebagai masa tanam dan berharap bisa memanen saat menang dan berkuasa.
Dia berharap kaum muslim perlu berpikir dalam kerangka perubahan sosial. Dalam hal ini, tak lagi menjadikan antara pemerintah dan ummat sebagai "kita" dan "mereka". Akomodasi negara dan pemerintah terhadap muslim merupakan konsekuensi logis dari perubahan sosial.
Kesadaran umat yang telah berubah ini perlu menjadi pemikiran para tokoh umat. Kata Kuntowijoyo, umat yang dulu terbelakang sudah mulai maju dan tak bisa dibodohi, daya baca umat sudah meningkat, umat sudah hampir jadi critical mass.
"Gambaran mengenai santri sudah berubah, bukan lagi sarung, tapi celana, bukan lagi dari mulut ke mulut, tapi internet; bukan lagi syiir, tapi puisi, bukan lagi samrah, tapi rock. Perubahan itu telah terjadi, tidak dapat dibendung, jam tidak lagi bisa diputar ke belakang," katanya.
Dari perspektif ini, ia menyarankan semua energi tidak dihabiskan di dalam politik. Mulai perlu para tokoh politik dan umat melihat kekuatan sejarah lain biar tidak kecewa di kemudian hari jika tidak bisa memanen.
"Dukung-dukungan, doa politik, tahlil politik, dan pengajian politik harus dihentikan, sebab kekuasaan akan membuat umat berpikir serba politik," tuturnya.
Jika mengikuti cara berpikir Kuntowijoyo ini, maka umat memang perlu makin cerdas dalam segala hal. Cerdas dalam berpolitik dan cerdas menggerakkan perubahan di atas umat yang telah berubah.
Bukan saatnya jualan "kunci surga" lagi. (arif afandi)