Berdua Ngopi, 1+2 = Persatuan Indonesia
Sah rasanya, ungkapan-ungkapan, jargon-jargon, yang diciptakan banyak orang terkait aktivitas ngopi. Tak hanya sah saja, rasanya malah benar semua.
Kalau begitu, betapa hebatnya kopi!
Berbulan, sebelum "peristiwa" Stasiun MRT di Lebak Bulus, Sabtu lalu, 13 Juli 2018, jangan harap bisa memasang gambar kedua orang (itu) duduk bersama dalam satu aktivitas. Pun aktivitas ngopi. Rasanya tabu. Saru juga rasanya. Padahal, keduanya pernah duduk, lalu ngopi-ngopi.
Memang, tak ada yang bercerita, juga tak ada yang mengabarkan, setelah dalam satu gerbong MRT itu, setelah berpelukan itu, sedikit mirip dengan adegan teletubis itu, berdua terlihat memegang cangkir. Lalu ngopi. Tidak ada. Yang ada adalah, setelah menjajal MRT itu keduanya diceritakan bersantap bersama.
Andainya, ada yang mampu bercerita, di antara santap bersama itu beriring cangkir berdenting dan di dalamnya berisi seduhan kopi, tentu ini menambah peristiwa bersejarah ini menjadi makin lebih bukan main lagi. Warga kopi sak Indonesia Raya pasti lebih merayakannya dengan penuh sukacita.
Menjadi pemandangan kurang elok. Berbulan ini. "Massa" warung kopi serasa terbelah dua. Mereka yang duduk-duduk dan menikmati kopi itu serasa berada dalam pusaran dua kutup. Pusaran yang bertolak belakang. Wegah bersinggungan. Padahal, dulunya, mereka kalau ngopi, seperti dalam satu adonan. Seperti gula dan kopi.
Kelompok gula sebelah sana. Kelompok kopi sebelah sini. Atau, bila kelompok gula lebih dulu masuk dan ngopi, kelompok kopi menunggu mereka pergi. Begitu sebaliknya, bila ada kelompok kopi datang duluan, yang gula pilih menyingkir jauh-jauh. Fatalnya, bila sampai kedua-duanya membatalkan acara ngopi.
Yang apes adalah yang punya warung kopi. Yang membangun usaha itu. Omset turun. Pendapatan mengecil. Harga kulak kopi melonjak. Itu pun masih ditambah dengan pengunjung warungnya yang tak akur.
Berbulan ini dunia kopi seperti dalam pusaran yang bertolak belakang. Wegah bersinggungan. Padahal, dulunya, yang bersinggungan itu, kalau ngopi, seperti dalam satu adonan. Seperti gula dan kopi.
Ngopi disek ben gak salah paham. Ngopi dulu biar tidak kerengan. Rasanya memang bukan angan-angan yang tertulis dan diposting oleh banyak tangan. Lewat media apa saja. Warkop, kedai, coffee shop, medsos, website, hingga koran.
Jadi, canggih betul Indonesia ini. Mampu merangkai kearifan hanya dengan kopi. Rasanya, kalau sudah begini, kopi tak perlu banyak-banyak lari ke luar negeri. Toh, kalau semua orang Indonesia ngopi, pasar lokal juga bertumbuh tinggi. Malah, jauh di atas semua, tak ada peristiwa iri dengki yang mewarnai Persatuan Indonesia ini. Selamat ngopi, karena kopi kita bersaudara. (widikamidi)
Advertisement