Virus Nakal Prof Sutiman
Manusia harus berdamai dengan virus. Lho? Sebab virus itu adalah bagian dari sistem alam. Hidup sejak milyaran tahun lalu sampai sekarang.
Karena itu, virus apa pun tak perlu ditakuti. Tapi harus dipahami. Bukan dilawan, tapi ditanggulangi. Termasuk Covid-19 yang kini jadi pandemi.
Ini teori Prof Dr Sutiman Bambang Sumitro SU, DSc. Ia ahli nano sel dan biologimolekul Universitas Brawijaya, Malang.
Ia mengungkapkan hal itu dalam Halal Bihalal Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Malang Raya. Di depan para ahli, dokter dan sarjana di sana.
Ada juga Ganjar Pranowo, Ketua Umum PP Kagama yang juga Gubernur Jawa Tengah. Persamuan lewat pertemuan virtual.
Maka kangen-kangenan tanpa suguhan itu jadi gayeng karenanya. Ia menjelaskan dengan detil tentang berbagai jenis virus. Baik yang jadi wabah sejak dulu kala sampai sekarang.
Berdasarkan berbagai penelitian dan jurnal yang ia baca dari seluruh dunia, virus itu ada sejak dulu. Jumlahnya banyak. Bagian dari sistem kehidupan manusia.
Menjadi bahaya kalau bermasalah seperti Covid-19.
Menurut pendekatan Nano Sel dan Biologi Molekul, virus itu sebetulnya bermanfaat. Untuk mempersiapkan gen manusia yang berevolusi secara terus menerus.
Yang menikmati manfaatnya bukan generasi manusia yang sedang menghadapi virus itu. Tapi tidak tahu kapan. "Bisa jadi virus Covid-19 ini untuk generasi anak cucu kita," katanya.
"Kalau begitu, virus yang berbahaya itu virus yang mbetik. Virus nakal," tanya saya. Mbetik karena mengganggu dan merepotkan manusia.
Prof Sutiman hanya tersenyum. Ia tak menjawab tentang virus mbetik dan nakal.
Yang juga menarik, ia menyebut bahwa virus Covid itu bermutasi terus. Ketika di dalam inangnya ia berkembang.
"Virus ini cerdas. Ketika berada di dalam tubuh manusia sebagai inangnya ia bermutasi menyesuaikan sel yang ada," kata dia.
Karena itu, apa pun tidak bisa diputus. Mutasinya begitu cepat. Sehingga dapat menimbulkan varian-varian baru dari virus tersebut. Demikian juga dengan virus Covid-19.
Ini menyebabkan dampak virus terhadap manusia berbeda-beda. Penyebaranya pun juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lain.
Menurut penelitian, di Spanyol penyebarannya bisa lewat udara. Apalagi UV di negeri itu kecil. Sedangkan di Indonesia tinggi.
Berdasarkan ini, yang paling bagus adalah dengan mempersiapkan penduduk dengan tatanan baru hidup bersama Covid-19. Melalui apa? Selain menerapkan protokol kesehatan, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Dalam persepektif nano sains, ia menyarankan basis sumberdaya lokal untuk menanggulangi pandemi Covid ini.
Dia menyebut virus akan menjadi pandemi saat terjadi badai inflamasi. Nah, ini bisa ditanggulangi dengan jamu dan komplek peluruh radikal untuk menurunkan level radikal bebas ke jenjang normal. Dengan demikian, kekebalan tubuh dapat bekerja optimal.
Prof Sutiman memang menekuni soal peluruh radikal bebas ini. Ia meneliti dengan serius soal ini saat membantu Dr Greta Zahar dari Bandung yang menemukan metode penyembuhan kanker lewat balur rokok.
Tak main-main, temuannya ini dia uji kepada istrinya yang juga mengidap kanker. Melalui hasil penelitiannya tersebut, istrinya lambat laun semakin baik kesehatannya.
Guru besar alumni Fakultas Biologi UGM ini lahir di Yogyakarta. Mengambil doktor di bidang biologi sel di Nagoya University Jepang.
Puluhan jurnal telah ditulisnya. Baik edisi bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Kini ia juga menjadi direktur eksekutif Pasa Reseach and Development Indonesia Free Radical Reseach Institute.
Lantas jamu yang bagaimana yang bisa menanggulangi pandemi Covid-19? Jamu yang mengandung logam transisional. Sayangnya, ia tak menyebut jamu seperti apa yang mengandung logam ini.
Yang pasti, ia tak berharap Indonesia mengandalkan vaksin untuk menanggulangi pandemi ini. Sebab, vaksin yang sampai sekarang masih dalam tahap uji klinis itu pasti akan didapat dari impor.
Ia lebih menyarankan Indonesia mengembangkan basis lokal untuk menanggulangi pandemi Covid. Dengan mendayagunakan jamu yang memiliki perspektif holistik.
Eh...ada informasi menarik bagi para perokok. Menurut Prof Sutiman, Isarel melakukan riset terhadap 3 juta orang. Salah satu temuannya, perokok yang terpapar Covid-19 lebih sedikit ketimbang yang bukan perokok.
Hanya saja, tidak ditemukan tingkat keparahan akibat terpapar virus corona antara mereka yang merokok dan tidak.
informasi kontorversi ini langsung menuai beragam komentar saat saya unggah di media sosial. Yang perokok girang karena dapat pembenaran. Yang bukan perokok bilang informasi itu provokasi menyesatkan.
Tiga jam Halal Bihalal yang juga menampilkan Dr Sri Poeranto ini menjadi gayeng tak hanya karena jadi ajang kangen-kangen antar alumni. Tapi juga menjadi semacam kuliah tentang virus yang menjadi pandemi.