Berburu Karya Maestro
Akhirnya, Presiden Joko Widodo dan Pak Prabowo bertemu. Hiruk pikuk semuanya. Antara pujian juga kritikan melingkupi pilihan itu.
Apa pun, keduanya maestro politik Indonesia kontemporer. Tim hore lainnya? Ya, remah-remah biskuit saja. Memang, kadang ada tim hore menilai dirinya terlalu hebat.
Menganggap dirinya dalang dan penting. Tapi setelah Pak Jokowi dan Pak Prabowo memilih tempat duduk dengan latar wayang, pesannya jelas. Mereka itu pengembira saja.
Dalangnya? Ya mereka berdua. Jadi, kita tunggu saja perkembangan lanjutannya. Apakah Pak Prabowo akan jadi oposan, penyeimbang, atau malah gabung ke pemerintahan. Masih dinamis.
Memang, sebagai maestro, di bidang apa pun, komitmen dan ketulusan tetap harus jadi pilihan. Setidaknya, itu juga yang dilakukan Mbak Satinem dan Mbak Lindu. Keduanya, maestro kuliner di Jogja.
Mbah Satinem, adalah penjual lopis. Jajan pasar. Mbah Lindu berkarya dengan gudeg. Di usia yang renta, mereka masih tetap bekerja. Dengan senyum, berbagi karya paripurna.
Program film berbayar, Netflix mengangkat keduanya jadi salah satu legenda dan maestro. Diliput mendalam. Juga diulik sisi filosofis dalam berkarya.
Akhir pekan lalu, saya melawat ke Jogja. Liburan bareng keluarga, sebelum anak-anak masuk sekolah lagi. Sekalian, saya mampir ke tempat jualan keduanya.
Pertama, ke Warung Mbah Lindu. Hari Minggu, 14 Juli lalu, jam 06.30 pagi, saya sudah sampai ke Jalan Sosrowijayan. Kedai sudah sesak. Antrean mengular.
Saya tenggok, ada senyum Mbah Lindu. Tapi itu hanya poster saja. Mbah Lindu tak ada. Hanya anaknya yang melayani pelanggan.
Karena berlokasi di dekat pusat banyak hotel, nyaris semua pembeli adalah wisatawan. Para pelancong dari luar kota. “Saya datang dari Purwokerto, Jawa Tengah,” jawab Bapak di depan saya.
Sampai jam 07.30, saya belum beranjak maju. Para plesiran itu banyak memborong. Berbesek-besek paket gudeg berpindah tangan.
Tampilan gudegnya terlihat menawan. Opor ayamnya gurih. Tempe dan tahu bacemnya mengoda iman. Telurnya juga. Aduh, tak sabar mencecapnya.
Tak jauh dari tempat saya berdiri, sebagian masyuk menikmati gudeg. Bercengkarama sambil tertawa. Pagi yang bahagia.
Sedangkan saya? Mulai gelisah. Jilatan matahari pagi mulai merayap di muka. Hangat sih, tapi pegal mulai terasa.
Tak kuat mengantre, saya pun undur diri. Keluar dari barisan. Lantas, memilih pergi.
Tujuan berikutnya adalah Mbah Satinem. Jaraknya, sekira 2 kilometer. Tak jauh sepertinya. Tempat jualannya, ada di Jalan Bumijo, Jetis.
Sampai di sana, terlihat agak sepi. Ada keramaian, tapi tak mengular. Saya langsung tersenyum, di kartu antrean di tangan saya tertulis angka empat.
“Nomer 24. Apa saja ini pesanannya?” teriak putri Mbah Sutinem. Saya yang mendengarnya langsung terperanjat.
Saya tunjukkan nomer antrian ke dia. “Sabar ya Mas. Ini harus sampai ke nomer 50 dulu. Baru mulai dari awal lagi,” jelasnya panjang lebar. Sambil tersenyum tentu saja.
“Blaik,” ratap saya. Segera saya mengela napas panjang. Ini berarti, saya di antrian ke 54. Apa mau dikata, menikmati karya maestro memang butuh perjuangan.
Sambil melatih kesabaran lagi, saya menikmati pertunjukan utama. Cara Mbah Satinem melayani pelanggan. Gerak tangannya. Juga senyum ramahnya.
Salah satu kekhasannya, memotong lopis dengan benang. Satu porsi lopis, berisi tiga potong, sejumput ketan, parutan kelapa, dan olahan manis.
Tak lupa, balutan gula jawa sebagai penutupnya. Membuat komposisinya indah sekali. Sempurna. Tak heran, mantan Presiden Suharto jadi salah satu pelanggannya.
Tiga puluh menit berlalu. Nomer yang dipanggil masih jauh dari lima puluh. Tak ayal, saya pun menyerah lagi. Pergi dengan ngelu di hati.
Maestro memang pusat segalanya. Kewajiban dia cuma satu, menyatu dengan pelanggannya, pemujanya, atau pengikutnya. Tak terkecuali maestro untuk urusan politik. Mereka yang secara ideal disebut negarawan.
Secara teori, negarawan adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus, bagaimana memerintah dengan adil dan baik. Sehingga mereka bisa mewujudkan kepentingan terbaik warga negara. Untuk itu, politik harus dijalankan oleh pengetahuan ini, atau gnosis.
Kalau tidak, yang terjadi, kita akan diperintah oleh para sofis atau peniru. Yakni, mereka yang memerintah dengan kesan berpengetahuan. Padahal sebenarnya tidak.
Kembali ke pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Di beberapa liputan media, terlihat Kepala BIN, Jenderal (Polisi) Budi Gunawan di belakang mereka. Wajahnya juga cerah.
Inilah Indonesia, intel yang seharusnya selalu di belakang layar, malah tampil di permukaan. Konon, menjelang Oktober, di mana ada agenda pemilihan kabinet, semua ingin terlihat bekerja. Kalau tidak, bisa terpental dan sirna.
Ajar Edi, kolumnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id