Covid-19, Produksi Kain Tenun Milik Satpam di Kediri tetap Eksis
Berawal dari sekedar ingin tahu cara membuat kain tenun ikat, seorang pria yang berprofesi sebagai satuan pengamanan (satpam) di Kediri sukses membuka usaha sebagai pengrajin kain tenun ikat.
Usaha tenun ikat ia rintis sejak tahun 2014 silam. Kini terus berkembang. Hebatnya, sama sekali tidak terpengaruh kondisi lesunya ekonomi global akibat Covid-19.
Cipto Roso, 43 tahun, menjalankan proses produksinya dikerjakan di rumah di Jalan Lawu Nomor 12, Kelurahan Campur Rejo, Kecamatan Mojoroto Kota Kediri. Dalam sehari Cipto Roso mengaku bisa memproduksi 5 kain tenun ikat.
Dulu sebelum buka usaha, di sela waktu shift sebagai satpam ia sering datang ke sentra kampung tenun ikat yang berlokasi di Kelurahan Bandar Kidul. Ia ingin belajar membuat kain tenun ikat. Saat proses belajar tersebut, lambat laun ia mulai menguasai cara membuat kain tenun ikat.
"Waktu pertama kali buka usaha, alat manual penenun ikat yang saya miliki cuman satu. Sehari cuman bisa produksi 1 kain tenun ikat," katanya.
Meski hanya memiliki satu alat, namun waktu itu ia bisa menjual hasil kain produksinya ke luar pulau Jawa, seperti ke Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Ia lebih suka menjual kain produksinya keluar Kediri seperti Donggala karena harga pasar di sana dinilai sangat bagus ketimbang di Kediri.
"Sebelum saya buka usaha, ibu saya sudah sering kirim kain tenun ikat ke Donggala. Di sana kan ada kerabat juga, tapi waktu itu ibu saya hanya sebatas memasok barang, bukan produksi bikin sendiri," katanya.
Setelah setahun berjalan, Cipto tidak mengira ternyata minat konsumen terhadap kain tenun ikat hasil produksinya sangat tinggi. Karena pesanan ramai, ia kemudian memutuskan untuk membeli 3 unit mesin tradisional tenun ikat.
"Dengan bertambahnya tiga unit mesin tradisional tenun ikat, maka sekarang saya bisa memproduksi empat kain dalam sehari," katanya.
Beberapa tahun kemudian, harga kain tenun ikat di Sulawesi mendadak anjlok. Menurutnya anjloknya harga kain tenun ikat di Sulawesi, dikarenakan ada musibah bencana tsunami di Aceh.
"Harga kain tenun ikat mendadak anjlok waktu itu, karena ada keterkaitan musibah bencana tsunami di Aceh. Akhirnya, saya banting stir menjualnya ke Kediri, dan ternyata allhamdulilah responsnya cukup bagus," katanya.
Cipta menjual kain tenun dengan harga bervariasi antara Rp175 ribu hingga Rp180 ribu per potong. Meski sekarang masih dalam situasi pandemi covid-19, Cipto mengaku tidak begitu berpengaruh terhadap penjualan.
"Justru pandemi ini pesanan tambah banyak, Mas. Kalau di sini saya tidak menyimpan bahan semuanya sudah habis. Bahan untuk membuat kain tenun ikat biasanya saya beli langsung di Surabaya. Bahannya ini impor dari India," katanya.
Selain melayani pembelian untuk masyarakat umum yang datang ke rumah, Cipto juga melayani pesanan dalam jumlah banyak dari instansi pemerintah, bank dan rumah sakit.
"Ini sedang membuat pesanan dari Bank Jatim sebanyak 25 kain. Rencananya dibuat pakaian untuk para teller bank," kata Cipto.
Dalam memasarkan produknya ke instansi pemerintahan. Ia dibantu oleh adiknya yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemkot Kediri.
Pesanan paling banyak yang pernah diproduksi sebanyak 100 potong kain. Pesanan itu dari Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang. Proses pengerjaannya waktu itu kurang lebih tiga bulan.
Pria yang berprofesi sebagai satpam selama 7 tahun ini mengungkapkan, selama pandemi juga pernah memasok kain untuk bahan masker ke Disperindag Kota Kediri sebanyak 3 kali.
Saat ini, Cipto lebih fokus memasarkan kainnya melalui offline. "Kalau online itu biasanya, ada freelance yang ikut membantu menjualkan. Jika ada pesanan, dia datang ke sini untuk ambil barang," ujar dia.
Kain tenun ikat merek Woro Putri produknya memiliki ciri khas yang tak dimiliki produk lain. Motif khasnya hewan. Motif ini ternyata lebih menjual dibanding motif lain.