Beratnya Cinta dan Gelimang Uang Ramadhan yang Hilang
Beberapa foto kegiatan tarawih di Masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi Madinah bertebaran di media sosial. Sebagian mengambil foto dari Saudi Press Agency (SPA). Di dua kota suci itu, salat tarawih tetap dilaksanakan.
Tentu saja dengan penjagaan ketat. Juga terbatas dengan beragam aturan. Di Masjidil Haram, salat tarawih diimami oleh imam besarnya, Syekh Dr Abdulrahman Bin Abdulaziz Al-Sudais.
Melaksanakan ibadah umrah di saat bulan Ramadhan, bagi kaum Muslimin, adalah kenikmatan tiada tara. Diyakini, nilainya bak menjalankan ibadah haji. Banyak orang yang jauh-jauh hari sudah merencanakannya.
Maklum, harga umrah saat Ramadhan beda. Lebih mahal. Karena semua ongkosnya naik. Baik dari tiket, hotel, hingga akomodasi lainnya. Uniknya, walau mahal, peminatnya berebut.
Bagi para pemilik biro umrah dan haji, imbasnya, mereka juga merasakan kenikmatan serupa. Pundi kekayaan bisa bertambah bak deret ukur. Bisa melompat sesuka hati mereka.
Yang paham jumpalitannya nilai rekening mereka, hanya para pekerja bank langganan. Mungkin hanya bisa terngangga atau melonggo. Saat di musim ramai umrah dan haji, kok bisa dengan gampang cari uang.
Kini, Ramadhan tahun ini terasa berbeda. Beberapa teman yang sebelumnya dijadwalkan umroh saat Ramadhan, tahun ini, hanya termenung. Berbagi keluh kerinduan. Padahal segala biaya sudah dibayar lunas.
Memang, Covid 19 membuat semua rencana perjalanan ibadah umrah berantakan. Tapi tak hanya jamaahnya yang gelisah. Sebenarnya, para bos usaha tour juga mulas perutnya. Pokok soal, semua uang jemaah sudah berpindah ke tangan ketiga.
Untuk lebih paham masalah ini, Sabtu malam lalu, 25 April 2020, saya berbincang dengan seorang teman. Dia pemilik usaha travel umrah. Masih muda sekali.
Dia memilih tidak tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya. Dia menahkodai bisnisnya dari kota kecil di pinggiran Jawa Timur. Di sebuah kota yang bertetanggaan dengan kota penghasil pedagang air micin sebagai kuah soto.
"Selama Covid 19 ini, saya masih ada tanggungan sekitar 1200 jamaah umroh yang belum berangkat," jelasnya sambil tertawa. Angka yang besar sekali. Kalau jamaahnya ada yang protes, tentu bikin puyeng.
Mari kita bikin hitungan sederhana. Bila biaya umroh rata-rata, Rp25 juta untuk satu orang, kita kalikan saja berapa uang yang tertahan. Nilainya sudah Rp30 miliar.
"Wah kalau dia tertawa lebar, berarti uang sambung pengganti uang jamaah masih ada. Dia ada uang cash atau aset buat jaminan," batin saya.
Kalau saya di posisi dia, bisa jadi sudah milih pergi ke pondok pesantren saja. Tiap malam iktikaf di masjid. Minta pertolongan pemilik alam raya.
Lantas dia pun mengurai satu persatu masalahnya. "Uang yang jelas hilang, untuk beli tiket promo transit," katanya. Kadang untuk mensiasati dapat tiket ke Saudi lebih murah, perjalanan umrah travel anak muda ini bukan dimulai dari Jakarta atau Surabaya.
Acap kali, wisata religi itu bermula dari Kuala Lumpur atau Singapura. Pernah dari Bandar Sri Begawan. Beberapa kali dari Srilanka, karena maskapainya memberikan banyak harga diskon tiket.
Sebagian uang jemaah otomatis sudah di maskapai penerbangan. Karena untuk booking tiket dari kota transit ke Madinah atau Jedah. "Yang pembelian group, maskapai mau mereschedule tiket sampai akhir tahun," jelasnya.
Lalu, uang ada yang sudah terdampar untuk bayar hotel. Baik di Saudi atau di negara transit. "Nah, yang ini belum jelas statusnya, Sebagian masih mau lapor ke pemilik dan atasannya," katanya.
Terakhir, sebagian uang sudah di tangan operator land transportation. Mereka yang mengurus bus atau konsumsi selama perjalanan. "Ini juga sama. Belum jelas statusnya," ujarnya.
Sebelum bercerita lebih jauh, saya hanya ingin berbagi, anak muda ini punya konsep berbeda atas umrohnya. Dia bisa melakukan bisnisnya dengan efisien. Sehingga harga yang dibebankan ke konsumen, bisa lebih murah. Tapi kualitas tetap terjaga.
Apa yang dikerjakannya, mirip distrupsi. Agak merusak ekosistem umrah haji yang mapan. Dengan tempelan beragam kemewahan, pencitraan, dan harga yang mahal.
Bagaimana konsep berbedanya? Dia menyebutnya dengan umrah mandiri. Ibadah umrah bisa dipelajari sendiri saat menjalankannya, juga sendiri.
Banyak ilmu yang bertebaran di internet untuk mengetahui tata cara beribadah umrah. Tak perlu ikut manasik di hotel dengan pembebanan biaya. Tak perlu beli tas-tas baru, yang nambah biaya.
Hampir semua sudah punya tas. Dia cukup membuatkan sarung tas yang seragam. Sebelumnya juga ngga pakai seragam umrah. Namun, karena peraturan pemerintah, kini dia menyediakannya. Tapi, jemaah kena tambahan biaya.
Dia juga bisa menawarkan hal menarik buat para alumni umrahnya. Jika ada yang ingin umroh lagi, cukup bayar sebagian. Tapi dia punya tugas tambahan mengawal jemaah.
Kadang, untuk mutawib, dia mencari mahasiswa Indonesia di Madinah atau Mekah. Biaya murah. Juga membantu mahasiswa di sana, mendapatkan penghasilan tambahan.
Lho ini kan brilian pendekatannya. Tak perlu mengeluarkan biaya buat karyawan. Tak perlu membawa petugas dari Indonesia, yang tentu saja akan dibebankan ke para jamaah.
Malah dia dapat uang pemasukan. Karena alumni yang bayar sebagian itu, sudah menutup modal. Semua senang, karena dia tak perlu membebankan ke jemaah lagi.
Bisnis anak muda ini spektakuler. Sebelum Covid-19 mendera berat, bahkan dia melakukan akuisisi bisnis besar. Membeli lagi, sebuah perusahaan travel yang sudah punya lisensi haji dan umrah.
"Nilainya Rp 1,5 miliar," ungkapnya. Saat diceritai, saya hanya bisa geleng kepala. "Rencananya mau saya bikin francise saja," tambahnya.
Bisnis umrah sebenarnya bisnis paling menguntungkan. Tak perlu modal cash besar. Yang diutamakan kepercayaan.
Peserta jemaah umrah, sudah membayar seluruh pengeluaran di muka. "Jadi yang diperlukan kejelian kita menentukan harga atas tiap komponen biaya. Lantas ketaatan kita mengelola uang jemaah. Sisanya, jadi keuntungan kita," katanya panjang lebar.
Namun, memang ada biaya-biaya tak terduga yang harus diantisipasi. Misalnya, gagal berangkat karena tiket muhrim berbeda pesawat.
Lantas, masa berlaku paspor jemaah habis. Atau, jemaah tidak sempat bawa kartu kuning miningitis. "Semua bisa dicarikan solusi. Asal kita banyak teman," katanya sambil berbagi senyum simpul.
Wah kalau banyak teman, bisa jadi urusannya harus berbagi kabar gembira. Bisyaroh. Agar semua lancar dan bahagia. Tapi saya enggan, bertanya lebih lanjut untuk urusan keakraban itu.
Kita kembali ke urusan Covid-19 dan umrahnya saja ya. Kira-kira berapa kerugiannya di masa sekarang ini.
Saat mendengar pertanyaan itu, dia tersenyum lagi. Agak lama menjawabnya. "Hampir Rp1,2 miliar," katanya lirih dan tersipu.
Yang kini diberikan kepada para jamaahnya adalah jaminan atas umrohnya. Mereka bisa mereschedule perjalanan. Tentu setelah badai corona ini selesai. Bisa juga nanti ganti nama.
"Kalau yang rewel ya saya balikin saja uangnya," cetusnya. Tenyata yang minta uangnya dikembalikan hanya sedikit. Tak lebih dari hitungan jarinya.
"Lantas, berapa potensi keuntungan yang kini hilang?" agak nekat saya sodori pertanyaan itu kepadanya. Dia hanya membalasnya dengan senyum.
Tak menyerah, saya mencoba berputar. Dengan pertanyaan lain. Sayangnya, dia masih tak mau berbagi. Akhirnya, saya menyerah. Mungkin, urusan dapur.
Namun, tiba-tiba saya mendengar jawaban yang membuat mata saya terbelalak. Kaget. Lantas, merasa salah dengan pilihan pendidikan dan pilihan pekerjaan yang saya tekuni kini.
"Potensi keuntungan yang hilang Rp3 milliar dalam musim Ramadhan ini," celetuk temannya. Saat berbicara, dia sambil tiduran. Temannya ini pengusaha properti.
Kebetulan, dia salah satu sekondannya yang dipercayai bos travel itu. "Duitnya masih banyak. Walau ada masalah di bisnis umrohnya, dia malah beli rumah di proyek saya, Rp240 juta, he he he," lanjut temannya itu.
Saya masih heran saja dengan anak muda ini. Beragam masalah ternyata tak membuatnya pening. Masih bisa senyum renyah dan tertawa riang gembira.
"Masih ada usaha jasa pembiyaan impor yang menolong," katanya. Ternyata, Covid-19 membuat bisnis importir naik drastis. Omsetnya yang biasanya menembus Rp100 juta, kini naik 300 persen.
Bisnis yang membuatnya masih tenang. Lagi-lagi saya hanya bisa menggelengkan kepala. Kok rezekinya anak ini banyak sekali. "Sebenarnya apa rahasianya?" kembali saya berbatin.
Sebelum pertanyaan itu terlontarkan, temannya yang pengusaha properti itu kembali sesorah. "Sedekahnya banyak banget Om. Kiai yang diumrohkan gratis juga banyak," lanjutnya.
Karena itu, banyak pula kiai dan jamaahnnya yang jatuh hati kepada anak muda ini. Masih lajang, muda, pintar, dan kaya raya. Mereka banyak yang menawarinya jadi mantu.
Namun banyak tawaran itu bertepuk sebelah tangan. Dengan halus, ditolaknya permintaan itu. Kami, teman dekatnya mahfum dengan pilihan itu.
Maklum, anak muda ini punya kekasih hati. Keduanya berjibaku memulai bisnis ini. Dari nol, merangkak bersama, susah dan senang berdua.
Dari bisnis impor, bikin kelas impor, hingga berlanjut ke bisnis umroh. Namun, kisah percintaan keduanya tak semulus bisnis yang dirintis berdua. Kabarnya, percintaan mereka pupus di tengah jalan.
Mirip kisah lagu Peri Cintaku yang dipopulerkan Marcell, "Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi."
Ternyata, baginya, kisah kasih percintaan dan bekapan masalah corona di bisnis umrah, ada persamaannya. "Keduanya sama-sama berat rasanya," pungkasnya.