Beras Kalah
Ternyata bukan hanya empat calon presiden, wakil presiden, dan sejumlah calon legislatif yang kalah. Beras yang sebelum Pemilu menjadi bagian penting isu politik selama pesta rakyat itu ternyata ikut juga kalah. Harganya melambung tajam. Membikin banyak rakyat menjerit.
Kita belum tahu apa penyebab sebenarnya. Pemerintah menyebut karena El Nino. Cuaca yang tak menentu di dunia. Yang membuat banyak gagal panen. Tapi masak naik harganya menunggu setelah pembeli berlangsung. Setelah bantuan sosial yang menjadi program pemerintah disebarluaskan.
Tak pernah persoalan harga beras membetot perhatian banyak orang di saat pemilu masih hangat-hangatnya. Saya pun lebih suka menyemangati kawan-kawan yang kalah dalam pemilu. Loh kok yang kalah? Ya. Sebab, mereka yang menang pasti sudah banyak yang merubungnya. Banyak yang berdatangan. Mulai dari sekadar memberi selamat atau mencari peluang untuk dikerjakan.
Sedang yang kalah? “Kita kan sudah pernah menang dan kalah. Ketika kalah, kita pasti menjadi goblok mendadak. Setidaknya selama sebulan,” kata Walikota Pasuruan yang juga Sekjen PBNU Syaifullah Yusuf dengan ketawa renyahnya. Seperti biasa, dalam situasi apa pun ia menanggapinya dengan jenaka dan ceria.
Karena itu, beberapa hari setelah pemilu, saya menyempatkan diri mengontak kawan yang ikut kontestasi dalam pemilu. Baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Menanyakan kabar dan menghiburnya. Sesuatu yang ketika saya dulu kalah kontestasi sangat dibutuhkan meski sekadar basa-basi.
Semua sudah tahu hasil pemilu 2024 kali ini. Melalui Quick Count. Juga trend perhitungan real count di KPU. Misalnya, dalam Pilpres pasangan Prabowo Subianto mendominasi perolehan suara. Disusul Anies Baswedan-A. Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Sedangkan untuk Pileg, PDI Perjuangan masih menjadi juara. Upaya menjegal partai pimpinan Megawati Sukarnoputri itu tak menuai hasil. Yang melonjak malah Golkar dan PKB. Meski kedua partai itu belum bisa menyalip Gerindra di urutan kedua. PKB diperkirakan akan masuk empat besar.
Saya WhatsApp semua kandidat yang ikut Pilpres. Kecuali Pak Prabowo dan Gibran. Sebab, saya tidak nomor kontak keduanya. Saya memberi selamat atas keikutsertaan mereka Pilpres. Menjadi bagian dari proses demokrasi dan politik di negeri ini. Memberikan pencerahan kepada warga.
Saya senang semuanya menjawab dengan penuh semangat. Mengaku siap menang dan kalah. Mereka sudah menghitung segala risikonya jika kalah.
“Tetap semangat. Kita tunggu KPU,” kata Ganjar.
“Siap. Suwun,” kata Anies sambil memberi emoji ketawa dan jempol.
Pak Mahfud MD dan Cak Imin yang menjadi pasangan Ganjar dan Anies memberikan respons yang kurang lebih sama. “Siap. Nuwun Mas,” tulis cawapres yang belakangan mempopulerkan istilah slepet itu.
“Insya Allah tabah. Semua risiko sudah diperhitungkan jauh sebelum pencalonan,” jawab Mahfud.
Kembali ke beras. Kenapa setelah 79 tahun kita merdeka belum berhasil membangun swasembada beras maupun pangan? Padahal, beberapa negara tetangga yang kini kuat di bidang pangan dulunya belajar dengan sistem pertanian kita. Thailand, misalnya. Negara tersebut kini menjadi salah satu sumber impor beras kita
Apa kira-kira penyebab kegagalan kita mengatasi masalah pangan? Ketidakjelasan paradigma dan ekosistem pembangunan pangan yang dibangun. Kebetulan saya sedang meneliti tentang upaya memenuhi swasembada gula melalui transformasi kelembagaan korporasi. Khususnya di lingkungan PTPN Group.
Paradigma pembangunan pangan yang tidak jelas menjadikan arah pembangunan sektor ini tidak terarah. Ditambah lagi dengan penyerahan kementerian yang terkait dengan bidang ini ke berbagai politik. Akhirnya, program pertanian menjadi sarat dengan agenda politik menteri yang memegangnya.
Sejak beberapa tahun terakhir, komoditas gula menjadi perhatian khusus presiden. Inilah komoditas yang juga selalu impor. Padahal, tanah Jawa di tahun 1930-an pernah menjadi eksportir terbesar kedua dunia setelah Kuba. Kini, Indonesia menjadi importir terbesar kedua dunia setelah China.
Transformasi BUMN gula diarahkan untuk memenuhi target swasembada gula. Target tersebut tertera ke dalam Keppres Nomor 40 Tahun 2023. Keppres ini menugaskan PTPN Group untuk menjadi pelaksana target swasembada gula. Transformasi lantas diarahkan untuk merumuskan paradigma dan membangun ekosistem industri gula.
Mereka menggunakan paradigma produktivitas untuk mengembangkan industri gula. Dengan paradigma tersebut, yang dipikirkan bukan hanya bagaimana pabrik gula bisa berjalan efisien, efektif dan memiliki laba yang tinggi. Mereka juga harus memikirkan petani karena industri ini bergantung kepada pasokan tebu petani. Makin tinggi produktivitas petani, makin terjamin juga industri gulanya.
Di luar itu, mereka juga membangun ekosistem baru yang saling menopang dari hulu sampai hilir. Memang hasil transformasi ini belum berjalan optimal. Sebab baru berjalan selama dua tahun terakhir. Tapi hasilnya sudah menunjukkan kinerja yang membanggakan. Diharapkan ke depan transformasi ini jadi model pembangunan industri pangan lainnya.
Apalagi kalau transformasi di BUMN gula ini kelak diikuti dengan reorganisasi petani tebu. Mengelompokkan mereka buka atas dasar anggota perorangan, tapi berdasarkan konsolidasi lahan. Dengan demikian mereka berkelompok untuk mengelola lahan bersama yang lebih luas agar bisa leluasa diterapkan teknologi pertanian yang lebih maju.
Beras sangat mungkin dikembangkan seperti model gula. Tentu tidak dengan model food estate yang lepas dari ekosistem petani. Mencerabut basis industri pangan dari petani bisa dipastikan akan menuai kegagalan dan meningkatkan ekonomi susbsiten petani kita. Kali ini kita kalah di beras. Bisa saja ke depan bisa kalah di sektor pangan lainnya.
Masak tega menjadikan beras kita sebagai komoditas yang kalah?
Advertisement