Beras Analog ‘Made in Genggong’ Juara Internasional
Beragam bahan pangan alternatif pengganti padi sangat melimpah di bumi Indonesia. Dengan mengusung beras analog, tiga santriwati dari SMA-Unggulan Hafsawaty Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Kabupaten Probolinggo meraih prestasi di forum internasional.
Kedatangan tiga santriwati, Khomsiyah Naili, 17 tahun; Nanik Nor Laila, 16 tahun; dan Cahyaning Fitrialy Aisyah, 15 tahun di Pesantren Genggong, Senin, 21 Januari 2019 disambut bak pahlawan. Maklum, Selasa lalu, 15 Januari 2019, mereka menyabet juara di The Second Phatthalung International Science Fair 2019 and PCCST Internasional Science Fair yan digelar di Phatthalung, Thailand.
Mereka menyingkirkan 26 tim dari 4 negara (Thailand, Malaysia, Vietnam dan Indonesia). Tiga santriwati itu mengusung beras anolog.
Apa beras anolog itu? Cahyaning, santri asal Kelurahan Kademangan, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo mengatakan, beras analog adalah beras tiruan dari berbagai sumber karbohidrat. Bahannya, bisa singkong, tepung sagu, jagung, hingga umbi-umbian.
Beras analog ini merupakan salah satu program dari Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengurangi ketergantungan konsumsi masyarakat terhadap beras (padi).
Tiga santriwati Genggong itu mengolah tiga bahan yakni, umbi suweg, daun kelor, dan tepung sagu menjadi beras anolog. “Ketiga bahan itu diolah menjadi layaknya beras organik biasa. Hanya saja beras ini berwarna hijau tua,” ujar Cahyaning.
Caranya pengolahannya cukup sederhana meski memakan waktu relatif lama. Umbi suweg dikupas dan diiris-iris kecil. Setelah itu dijemur di terik matahari hingga kering, lalu dihaluskan menjadi tepung.
Daun kelor pun dikeringkan untuk kemudian digiling dengan blender. Selanjut tepung suweg, bubuk daun kelor, dan tepung sagu dicampur menjadi satu. Campuran ketiga bahan ini kemudian dioven selama 30 menit. Setelah itu tinggal mencetaknya menjadi beras analog.
Beras "made in Genggong" ini, kata Cahyaning, sangat cocok bagi penderita berbagai macam penyakit. "Insya-Allah, dengan mengonsumsi beras ini, kita bisa sembuh dari diabetes dan kanker. Bahkan beras analog sangat pas untuk diet," ujarnya.
Naili, santriwati asal Desa Bataan, Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso menambahkan, ide mengusung beras analog tergugah karena kurangnya kesadaran masyarakat memanfaatkan bahan-bahan di sekitar kita yang memiliki banyak khasiat.
"Terutama umbi suweg yang jarang dimanfaatkan dengan baik. Padahal kandungan nutrisinya itu sangat banyak," ujarnya. Apalagi suweg yang “bersaudara" dengan porang itu banyak tumbuh di pedesaan di Kabupaten Probolinggo.
Selain itu, pembuatan beras ini juga terinspirasi dari beras impor. "Sehingga kita coba membuat beras tiruan dengan bahan dasar dari pangan-pangan lokal," kata Naili.
Pengasuh Pesantren Genggongm KH Moh. Hasan Mutawakkil ‘Alallah mengaku, bangga dengan Beras analog 'made in Genggong'.
"Jangan meremehkan pendidikan pesantren, terbukti tiga santriwati bisa juara di kancah internasional dengan mengusung temuannya, beras analog," ujarnya. (isa)