Berapa Ribu Ulama Disesatkan Firanda Sejak Abad ke-4 Hijriah?
JAWABAN Ustad Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I. mendapat respon dari banyak kalangan. Bahkan, penilaiannya bahwa Firanda telah melakukan “kekacauan pendapat” merupakan sikap tegas.
Kepada Firanda, Ustad Faris mengatakan, “Antum (sampean, red) sampaikan bahwa penjelasan Asya’irah membuat bingung orang. Alhamdulillah ana (saya) dan ashabukum minal ‘Asya’irah tidak ada yang bingung. Logikanya sangat sederhana”.
Berikut kelanjutan dari jawaban Ustad Faris Khoirul Anam, anggota Tim Aswaja NU Center Jawa Timur.
“Allah Ta’ala memiliki kalam yang qadim (seperti qudrah dan iradah Allah), bukan makhluk, bukan sesuatu yang dibuat (maj’ul), bukan sesuatu yang baru (muhdats). Sebagai kalamullah, Al-Qur’an al-Karim bukan makhluk, namun merupakan salah satu sifat Allah yang qadim itu. Sifat itu ada dengan adanya Allah (qadimun bi qidamih, maujudun bi wujudih).
“Antum harus membedakan Kalamullah ini dengan Al-Quran yang termaktub dalam mushaf. Al-Quran yang termaktub dalam mushaf bukan yang dimaksud dalam penjelasan tentang kalam di atas. Kalamullah berbeda dengan pelafalan seseorang, bentuk tertentu yang dibuat oleh penulis.
Kalamullah qadim, sedangkan bunyi, pelafalan, dan huruf adalah sesuatu yang baru. Huruf dan bunyi membutuhkan tempat keluar (makhraj) dari lisan, dua bibir, tenggorokan, sedangkan Allah Maha Suci dari semua itu.
Apa dalilnya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah menyentuh Al-Quran kecuali kamu suci.”
Al-Quran yang dimaksud Nabi tersebut adalah mushaf yang terdapat tulisan Al-Quran, bukan hakikat Al-Quran yang merupakan kalamullah. Mengapa? Kalam adalah sifat yang tidak mungkin menjadi obyek “disentuh” atau terkena kotoran.
Hal ini tidak hanya menjadi keyakinan Asya’irah sebagai pengikut al-Asy’ari, namun juga al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam al-Luma’, hal. 33-34, Imam al-Asy’ari memadahkan, jika al-Qur’an adalah makhluk, maka Allah akan mengatakan, “Kun (jadilah)!” Maka tidak mungkin, ucapan Allah menjadikan suatu materi yang juga berupa ucapan.
Kalau antum menganggap keyakinan ini sesat, maka tidak hanya Asya’irah yang antum sesatkan, namun juga al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Lalu berapa ribu ulama sejak abad ke-4 Hijriyah yang akan antum hukumi sesat, ya Ustadz? Berapa puluh lembaga pendidikan besar seperti Universitas al-Azhar Mesir yang Asya’irah yang akan antum sesatkan?
Antum Ya Ustadz Firanda menghantam Asya’irah dengan menyamakannya dengan Mu’tazilah yang meyakini Al-Qur’an itu makhluk.
Dari mana dasar penjelasan antum itu?
Dari kitab apa?
Apakah dari Nazhm al-Faraid, al-Raudhah al-Bahiyyah, Syarh Syairazi ‘ala Manzhumah al-Subki, Isyarat al-Maram, Ithaf Sadah al-Muttaqin?
Atau di Qurrat al-’Ain, Isyarat al-Maram, al-Tauhid, Tabshirah al-Adillah, al-Inshaf?
Kitab-kitab itu sangat bagus dalam memberikan penjelasan sehingga kita menjadi tahu apa perbedaan-perbedaan pendapat atara al-Asy’ari, al-Maturidi, dan Mu’tazilah. Maka kami jadi kaget mendengarkan penjelasan Antum yang dalam hal al-Qur’an Asya’irah diidentikkan dengan Mu’tazilah.
Tentang Al-Qur’an, AL-ASY’ARI meyakini Al-Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluk, namun merupakan salah satu sifat Allah yang qadim, ada dengan adanya Allah. Kalamullah berbeda dengan pelafalan, bentuk tertentu yang dibuat oleh penulis, karena hal ini baru. AL-MATURIDI meyakini Al-Qur’an adalah kalam Allah an-nafsi. Al-Qur’an Qadim Azali, bukan makhluk. Nah, MU’TAZILAH-lah pihak yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalam dan wahyu Allah, namun makhluk dan baru (muhdats).
Ya Ustadz Firanda, Asya’irah tidak menafikan sifat-sifat Allah. Lagi-lagi Antum berusaha mengidentikkan Asya’irah dengan Mu’tazilah. AL-ASY’ARI menetapkan sifat-sifat Allah dengan selalu menjaga kesucian Allah (tanzih). AL-MATURIDI menetapkan beberapa sifat, sebagai makna haqiqi tsubuti, yaitu delapan sifat: ‘Ilm, qudrah, iradah, sama’, bashar, kalam, takwin.
Nah, MU’TAZILAH-lah yang menafikan semua sifat. Merekalah yang meyakini Allah tidak memiliki sifat yang ada dalam Dzat-nya, namun hanya berupa sifat yang disematkan oleh orang.
Kesucian Allah (tanzih) tidak hanya menjadi keyakinan Asya’irah sebagai pengikut al-Asy’ari, namun juga al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam al-Luma’ – di antara kitab valid yang dinisbatkan pada beliau – kesucian Allah merupakan dasar Madzhab al-Asy’ari dalam Tauhid secara khusus, dan dalam masalah akidah secara umum, baik kesucian Allah dari tasybih, kesucian Allah dari tajsim, kesucian Allah dari dimensi, arah, dan tempat. Termasuk pula kesucian Allah dari kebaruan (huduts) dan sifat-sifatnya, seperti bergerak atau diam.
Kalau antum menganggap keyakinan ini sesat, maka tidak hanya Asya’irah yang antum sesatkan, namun juga al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Lalu berapa ribu ulama sejak abad ke-4 Hijriyah yang akan antum hukumi sesat, ya Ustadz Firanda? (bersambung)