Beragama dan Pendidikan yang Mencerahkan, Ini Pakar Muhammadiyah
Tantangan terbesar yang dihadapi pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang adalah pembangunan sisi pragmatis-ekonomis yang mengabaikan pembangunan karakter bangsa.
"Tidak proporsionalnya cara pandang yang berdasarkan positivisme dan empirisisme terlanjur membuat pendidikan Islam menjadi jumud dalam mengembangkan etika, moralitas dan peradabannya yang khas."
Demikian kata Desvian Bandarsyah dalam seminar khusus pada tema “Masa Depan Pendidikan di Indonesia yang menyenangkan dan mencerahkan,” di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta.
Universitas ini mendapatkan amanah dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk merumuskan secara khusus arah pendidikan Muhammadiyah kontemporer sebelum digelarnya Tanwir Muhammadiyah Bengkulu 15-17 Februari mendatang.
“Pendidikan dan kehadiran pendidik di dalam kelas semakin terdegradasi nilai dan substansinya. Hubungan guru dan murid berubah menjadi hubungan manajer dan pelanggan. Situasi ini pada gilirannya membuat peserta didik juga semakin melemah daya tangkap nalar sosial dan nalar etikanya, di samping melemah nalar intelektualnya," kata Desvian.
Seminar Pra-Tanwir di Kampus E UHAMKA Pasar Rebo Jakarta Timur, Kamis 7 Februari 2019. Dihadiri 200 lebih peserta dari unsur pendidikan Muhammadiyah se-Jabodetabek. Selain menampilkan Dr. Desvian Bandarsyah, seminar tersebut menghadirkan narasumber Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, disertai akademisi dan praktisi pendidikan Muhammadiyah seperti Syaikhul Islami, Dr. Muhammad Ali, Dr. H Biyanto, dan H. Aly Aulia.
“Pendidikan dan kehadiran pendidik di dalam kelas semakin terdegradasi nilai dan substansinya. Hubungan guru dan murid berubah menjadi hubungan manajer dan pelanggan. Situasi ini pada gilirannya membuat peserta didik juga semakin melemah daya tangkap nalar sosial dan nalar etikanya, di samping melemah nalar intelektualnya," kata Desvian.
Sementara itu, Biyanto yang merupakan Dosen IAIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PWM Jawa Timur mengutip pentingnya meneladani maksud dari para pendiri Muhammadiyah agar jalan Muhammadiyah tetap mencerahkan sekaligus tidak keluar jalur yang telah ditetapkan.
“Kiai Mas Mansur menyatakan bahwa agama merupakan wahyu Allah dan sudah sempurna. Sedangkan paham agama sejatinya adalah bukan agama sehingga paham agama harus diperluas. Penegasan Mas Mansur ini sekaligus menjadi peringatan bagi lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk memberikan pencerahan pada umat sesuai waktu dan tempatnya,” ujar Biyanto.
Menurutnya, unsur-unsur kemurnian ruhaniyah harus dijaga dalam membawa dakwah pencerahan.
Berjalan gayeng, diskusi panel antara narasumber dengan peserta yang hadir tersebut menggodok rumusan bagi acuan Muhammadiyah dalam mengembangkan pendidikan yang mencerahkan sekaligus kontekstual dengan zaman ke depan.
Selanjutnya, pihak UHAMKA mengaku telah membentuk tim editor untuk merapikan hasil rumusan diskusi tersebut untuk disebarluaskan ke warga Muhammadiyah.
“Tentunya sesuai dengan arahan PP nanti akan kita bukukan. Insya Allah sabtu ini sudah terbit. Minimal 1000 ekslempar agar bisa disebarkan di Tanwir Bengkulu,” ujar Rektor UHAMKA Gunawan Suryoputro. (adi)