Ber-City Branding
City branding kota kembali menjadi perbincangan. Setelah Presiden Joko Widodo meminta semua kota dan daerah memikirkan city branding-nya dengan matang. Dengan serius menyusun masterplannya.
Dengan gaya agak berseloroh, presiden yang pernah menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI ini mengkritik city branding yang ada. Dia melihat berbagai daerah memakai city branding yang kurang lebih sama.
"Jangan semua Kota/Kabupaten sama semua namanya, memiliki brand yang hampir mirip ada kota beriman, ada beriber ada ber apa lagi berseri, ber-ber-ber semuanya," katanya.
Merespon kritik presiden ini, sejumlah kota dan daerah langsung menciptakan city branding baru. Payakumbuh langsung bikin City of Randang, Kediri dengan Harmoni Kediri, dan Malang dengan Beautiful Malang.
Pokoknya, setelah ada sentilan presiden, para kepala daerah beromba-lomba menginisiasi city branding baru. Kalau tidak, mereka berusaha memperkuat city branding yang telah ada dengan berbagai kegiatan. Jepara, misalnya, bikin pameran ukiran. Magelang bikin hastag di medsosnya.
City branding memang sangat penting bagi sebuah kota. Ia menjadi kebijakan komunikasi publik untuk membangun image daerahnya. Rasanya lebih penting membangun city branding ketimbang hanya membangun personal branding kepala daerahnya.
Memang tidak semua daerah punya kesadaran untuk itu. Hatta daerah yang sudah menjadi kota besar atau ibukota provinsi. Saya punya pengalaman unik ketika diminta Walikota Surabaya (2003-2010) Bambang DH untuk memikirkan pembangunan kota Surabaya.
Saat itu, saya berdiskusi dengan banyak pelaku pariwisata kota. Juga dengan kalangan akademisi. Menggali keunikan kota ini. Mengeksplore aset budaya, sejarah, dan potensi kota. Sebagai bahan untuk merumuskan strategi membangun image baru kota Surabaya.
Hasil diskusi dengan berbagai stake holder penting itu lantas saya bawa dalam rapat dengan para kepala dinas terkait. Khusus membahas rencana membangun city branding. Masing-masing kepala dinas saya minta mengusulkan nama.
Spontan, banyak usulan branding normatif seperti yang dikeluhkan Presiden Jokowi. Misalnya, diusulkan menggunakan branding Surabaya Beriman, Surabaya Berseri, Surabaya Hebat dan seterusnya. Itu terjadi pada tahun 2005.
Setelah semua menyampaikan usul dan pendapat, saya pun mengusulkan city branding hasil diskusi dengan para stake holder tadi. Saya mengusulkan Sparkling Surabaya sebagai branding baru kota Surabaya. Kalau diartikan kurang lebih Surabaya Berkilau.
Apa reaksi peserta rapat? Seseorang langsung menolak ide itu. Alasannya yang unik. "Kalau pakai branding kota itu, nanti banyak warga tidak ngerti. Tukang becak tidak paham," katanya bersemangat.
Setelah semua memberi pendapat, saya pun menjelaskan. Saya bilang, city branding itu bukan untuk tukang becak. City branding itu kita tujukan untuk masyarakat yang lebih luas. Masyarakat luar kota Surabaya. Juga masyarakat global.
Dengan mengenal city branding dan terbangun image baru, mereka itu diharapkan datang ke Surabaya. Lalu di kota ini, mereka yang dari luar kota dan luar negeri itu naik becak dan belanja kerajinan yang dibikin warga kota Surabaya.
Setelah mendapatkan penjelasan itu, mereka pun setuju. Atau tidak berani membantah lagi. Yang pasti Sparkling Surabaya pernah berkilau di Surabaya. Logonya terpajang di mana-mana. Di berbagai sudut mall dan kota. Bahkan sampai Malaysia dan Singapura.
Memang bukan hanya branding yang mengangkat image. Harus diikuti berbagai kegiatan. Juga destinasi yang menarik bagi orang untuk datang. Misalnya shopping, golf, wisata alam, kuliner, atau bahkan destinasi wisata religi.
City branding melibatkan pemasaran, promosi aset, citra, reputasi kota untuk menarik wisatawan, investor, bisnis, dan penduduk baru. Ia juga melibatkan melibatkan pengembangan narasi yang menyoroti keunikan kota, sejarah, budaya, potensi ekonomi, dan kualitas hidup.
Di Jawa Timur ada dua daerah yang berhasil membangun city branding: Kota Batu dan Banyuwangi. The Shining Batu berhasil mengangkat wilayahnya menjadi destinasi utama untuk wisata alam. Juga mengembangkan themepark secara konsisten.
Banyuwangi selama satu dekade juga berhasil mengangkat kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini menjadi destinasi yang populer dan ngangeni. Banyuwangi tidak hanya mengenalkan The Sunrise of Jawa, tetapi juga menciptakan kegiatan berkelanjutan dan membangun infrastruktur.
Terkini, kota yang berhasil membangun city branding adalah Solo. Ini bukan sekadar karena walikotanya anak presiden, tapi karena mereka mempunyai visi tentang kotanya. Aset-aset sejarah dan potensi kota dibenahi. Sehingga menjadi destinasi baru yang menarik orang untuk datang. Juga konsisten menggelar kegiatan yang mendatangkan banyak orang dari luar kota.
Rupanya visi kepala daerah dan kemampuannya menggali potensi kotanya menjadi faktor penentu keberhasilan city branding. Ia bukan hanya soal kata yang menempel di nama kota. Tapi soal bagaimana merumuskan visi dan menurunkannya menjadi berbagai aksi dan destinasi.
City branding bukan hanya membuat label. Tapi bagaimana label marketing itu menjadi spirit seluruh warganya. Jika itu berhasil, maka cuty branding setidaknha dipastikan dapat meningkaykan pariwisata hingga 20 persen. Ini menurut laporan Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO). (Arif Afandi)