"Benteng Tindakan Intoleran dan Radikal, Ya Keluarga"
Ketua Lembaga Penelitian Pengembangan PP ‘Aisyiyah (LPPA), Siti Syamsyiatun mengatakan, mengentalnya tindakan intoleran, ekstremisme dan radikalisme di kalangan remaja diantaranya disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pencarian jati diri atau pengakuan.
Pengakuan jati diri tersebut padahal bisa didapatkan melalui kedekatan dengan orang tua. Namun masalah remaja kini semakin pelik. Karena, di tengah gelombang informasi dari media sosial, generasi remaja semakin sulit dikontrol.
“Kalau bapak-ibu kuat dalam diri anak, anak akan merasa aman dan anak tidak akan mencari pengakuan keluar. Karena di rumah dia diakui sebagai member of family, dia diperhitungkan oleh bapak-ibunya,” tutur Syamsyiatun.
Sejauh ini, media dapat digunakan sebagai ladang informasi, namun juga dapat digunakan sebagai teknologi untuk melakukan rayuan atau bujukan tindakan intoleran, ekstrim (ghuluw), dan radikal.
Melalui media digital yang sudah jamak digunakan oleh remaja, paham-paham radikal bergerak senyap menembus ruang-ruang hangat keluarga.
Di sinilah, kehangatan dan bangunan relasi yang baik antara ibu, bapak dan anak akan membantu anak dalam menemukan jati diri. Mengutip beberapa literatur, Syamsyiatun menyebut tindakan radikal yang dilakukan oleh anak erat kaitannya dengan tingkat kedekatan antara anak dengan keluarga.
Alhasil anak akan mencari relasi keluar yang menurutnya lebih menghargai diri dan mengakui keberadaannya. Karenanya, model kepemimpinan dan relasi dalam keluarga masa kini harus diubah. Tidak boleh lagi ibu dan bapak ditempatkan sebagai penguasa mutlak dalam keluarga dan jauh dari anak.
“Model kepemimpinan orang tua jaman dulu, anak semuanya harus tunduk, tidak berani melihat matanya, tidak ada saling menyentuh. Saya kira tidak cocok dengan anak jaman sekarang,” urai Syamsyiatun, dalam keterangan Sabtu 6 Februri 2021.
Bahkan kalau perlu orang tua juga belajar kepada anak, misalnya dalam penggunaan aplikasi platform media sosial. Dengan perlakuan semacam itu, diharapkan anak akan merasa dirinya penting karena dibutuhkan.
Fenomena demikian juga terjadi pada kalangan orang tua, sebagai baby boomer, orang tua yang menginjak usia kepala 5 keatas juga rentan terhadap informasi dari media sosial yang mengarahkan mereka ke arah sikap intoleran, ekstrem, dan radikal.
Menurut Syamsyiatun, kelompok baby boomer ini kaget dengan realitas-realitas yang tampil di media sosial.
“Mereka mudah sekali meresepsi-menerimanya apa adanya, nanti kemudian mereka akan bingung sendiri,” ujar Syamsyiatun
Rendahnya literasi media di kalangan baby boomer bisa dibantu oleh anak atau remaja untuk mengedukasi. Artinya sikap moderat tidak bisa diharapkan pada satu pihak, melainkan sikap ini harus diresapi oleh setiap unsur keluarga untuk saling menginggatkan dan menekan tindak intoleran, ekstrem, dan radikal.