Benarkah Warga Afghanistan Mengungsi?
Oleh: Djono W. Oesman
Tiada kepastian hari esok manusia di bumi. Terutama manusia Afghanistan, sekarang. Pengungsian besar-besaran dari sana. The Washington Post, Minggu (22/8/21): “Rush of Afghan Evacuees”.
-------------
Manusia menyemut di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, sepekan terakhir. Kita lihat dari sumber mana pun.
The Post menyebut, hanya 17 toilet (WC) di sana. Bandingkan, keluarga Indonesia, yang ceria, meski miskin, serumah dihuni empat orang, dengan satu toilet, masih bisa berantem keras.
Lalu, ke mana menyemutnya manusia Afghan itu ‘melarikan diri’?
Barangkali, mereka di sana jarang makan-minum, OK. Selain terpaksa, juga supaya tidak sering-sering ‘lari’. Syedih - ngeri. Karena bisa berisiko terpeleset ‘pelarian’ manusia lain. Khususnya di gulita malam.
Reuters, Jumat (19/8/21): Presiden AS, Joe Biden menyatakan, Amerika sudah mengangkut 13.000 orang dari Bandara Kabul. Perkembangannya, Sabtu (20/8/21) Bandara Kabul bahaya, di-stop. Pindah ke Bandara Internasional Hamad, Doha, Qatar. Puluhan ribu manusia didrop di Doha.
The Post, Minggu (22/8/21): Di Bandara Doha ada 58 toilet. Lumayan. Tentara Amerika kemarin siang berkeringat, membangun 170 toilet portable. Disaksikan oleh ‘semut manusia’ Afghan yang baru di-drop di sana. Khawatir-ku, ‘pelarian’ pindah ke Doha yang kaya raya.
Sinetron Afghanistan, kini ditonton dunia. Di Bandara Kabul, direkam video pengoyak kalbu. Beredar ke mana-mana, termasuk dimuat resmi Tribunnews. Video bayi digendong tentara Amerika melompati pagar.
Anda lihat, pagar tembok 2,5 meter, di atasnya rangkaian kawat duri. Di satu sisi bergerombol orang Afghan, di sisi seberang tentara Amerika. Seorang tentara telungkup di kawat duri (pastinya beralas). Ia menerima uluran seorang balita dari wanita menangis. Bayi diterima tentara. Lalu dioper, digendong tentara lainnya.
Mimik tentara itu sedih, apalagi si wanita. Melepas bayinya: “Entah ke mana kau pergi. Doa ibu selalu menyertaimu, nak…”
Sudahlah… jangan cengeng. Jangan kolokan. Data World Bank, 31 Desember 2019, populasi Afghanistan 38,04 juta jiwa. Yang melarikan diri (dalam arti sebenarnya) mungkin belasan ribu. Katakanlah 20 ribu. Belum ada data valid.
Masih jauh lebih banyak yang pilih tinggal di negaranya. “Right or wrong, this is my country. I still here… Understand?”.
Mungkin, pengungsi itu golongan parno (paranoid). Atau pekok. Mungkin pula, mereka semula antek-antek Amerika. Antek asing. Sehingga takut ditandai oleh Taliban. Siapa tahu?
Reuters, Sabtu (21/8/21): Kepala Kebijakan Keamanan Facebook, Nathaniel Gleicher, dalam tweetnya, Sabtu (21/8/21) menyatakan, Facebook menerima sangat banyak permintaan pengguna Afghanistan, agar akun mereka diamankan. Terserah, bagaimanapun caranya.
Gleicher mengatakan, perusahaannya telah meluncurkan tombol satu klik: "Lock your profile". Sedetik kemudian akun bakal terkunci.
Gleicher di Twitter @ngleicher: "Saat profil terkunci, orang yang bukan teman tidak dapat mengunduh atau membagikan foto profil atau melihat postingan di linimasa pengguna bersangkutan.”
Itu diharapkan Gleicher, warga Afghanistan bisa meminimalisir siapa saja orang yang bisa melihat dan mengakses jejak digital mereka.
Dilanjut: “Sebab, jejak digital atau kehidupan online warga Afghanistan bisa saja dijadikan alat, jalan masuk, tindak kekerasan terhadap mereka dan keluarga.”
Kalau Facebook seperti itu, pastinya sepaket dengan Instagram (Facebook mengakuisisi Instagram, 2012 senilai USD 1 miliar). Juga WhatsApp (Facebook mengakuisisi WhatsApp, 2009, USD 19 miliar).
Pihak Twitter mengatakan, juga dimintai tolong sangat banyak pengguna Afghanistan. Maka, Twitter berkomunikasi dengan masyarakat sipil untuk memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok di Afghanistan.
Twitter sudah bekerjasama dengan Internet Archive, mempercepat permintaan langsung pengguna Afghanistan, untuk menghapus tweet yang diarsipkan.
Pihak Twitter mengatakan, secara proaktif memantau akun yang berafiliasi dengan organisasi pemerintah Afghanistan. Menangguhkan sementara akun, sambil menunggu konfirmasi identitas mereka.
Sedangkan seorang juru bicara LinkedIn mengatakan, situs jaringan profesional itu untuk sementara menyembunyikan koneksi penggunanya di Afghanistan sehingga pengguna lain tidak dapat melihatnya.
Permintaan tolong warga Afghanistan melalui medsos dan telepon, juga deras diterima mantan Kapten Timnas Sepak Bola Puteri Afghanistan, Khalida Popal (34). Popal kini mukim di Denmark.
Popal, dikutip dari BBC Sport, Kamis (19/8/21): "Saya menerima sangat banyak pesan dari pemain (bola) Afghanistan yang menangis, mengatakan, kami ditinggalkan. Kami terjebak di rumah, tidak bisa keluar. Ini seperti mimpi buruk.”
Dilanjut: "Para pemain mengirim video mereka dan berkata: Orang-orang yang dulu saya lawan, sekarang berada di luar pintu saya. Saya tidak bisa bernapas. Saya sangat takut…. Saya tidak melihat perlindungan apa pun.”
Popal paham terhadap ketakutan saudara-kerabat-sahabat di Afghanistan. Sebab, Taliban berkuasa di Afghanistan 1996 - 2001. Saat Popal lahir dan dibesarkan di sana.
Taliban melarang bocah wanita sekolah, sampai usia 10 tahun. Juga melarang wanita bekerja. Atau keluar rumah, tanpa didampingi wali. Popal, terpaksa sekolah cuma sampai kelas 3 SD.
Memang, sudah ada janji dari pihak Taliban, bahwa mereka kini tidak seperti dulu lagi.
Pada konferensi pers perdananya, Selasa (17/8/21) juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, menjanjikan masyarakat internasional, bahwa Taliban akan menghormati hak-hak perempuan Afghanistan. Juga memaafkan orang-orang yang pernah melawan mereka.
Mujahid: "Biarkan saya mengingatkan Anda, bahwa kami memaafkan semua orang, karena ini demi perdamaian dan stabilitas di Afghanistan. Semua kelompok yang menentang kami, semua dimaafkan.”
Kemudian terbukti bohong. Karena dilaporkan, para jurnalis kini diburu Taliban. Keluarga jurnalis TV DW, dieksekusi mati, dari hasil Taliban menggeledah rumah warga door to door. Beberapa jurnalis lain juga sudah dieksekusi.
Dan, pihak Taliban juga sudah meminta maaf atas ingkar janji itu. Berjanji (lagi) akan mengawasi tentaranya.
Disimpulkan, Taliban tidak berada di satu garis komando. Tidak satu barisan. Semuanya jadi tidak pasti. Karena, ini masalah ideologi politik. Masalah: Beberapa orang ingin berkuasa (menguasai sangat banyak orang lainnya) dengan cara, beda ideologi. Dan senjata.
Itu juga diketahui Popal, melalui curhatan saudara, kerabat, sahabat, yang kini masih tinggal di Afghanistan. “Saya sedih, tidak mampu menolong mereka,” ujarnya.
Paparan itu menunjukkan, bahwa bukan hanya belasan ribu warga Afghanistan yang berniat kabur, offline. Melainkan juga banyak yang menyampaikan niat kabur, online.
WNI yang dievakuasi pemerintah Indonesia dari Afghanistan, termasuk memindahkan KBRI untuk Afghanistan ke Islamabad, Pakistan, menandakan orang Indonesia pun takut berada di sana.
Karena, manusia Afghanistan dengan Indonesia, sama. Sama-sama manusia. Ingin hidup damai. Agamanya pun sama. Seperti halnya manusia Palestina. Sama.
Beda antara Afghanistan dengan Palestina, dalam perspektif sebagian warga Indonesia, adalah: Belum muncul bantuan kemanusiaan untuk Afghanistan. Belum kelihatan bendera Afghanistan berkibar di sini. (*)