Benarkah Tak Ada Tuntunan Selamatan bagi Orang Telah Meninggal?
Sebagian umat Islam di Indonesia dan Malaysia biasa mengadakan upacara selamatan untuk mendoakan orang yang baru saja meninggal. Ini biasa dilakukan pada hari pertama kematian sampai hari ketujuh, lalu ada pula yang melakukannya sampai hari ke-40. Namun, adakah tuntunannya dalam Islam mengadakan seremoni selamatan ini?
“Dalam Fatwa Tarjih disebutkan bahwa hukum mengadakan selamatan yang disertai dengan doa yang dipaketkan itu (tahlil, yasin, mengirim pahala kepada mayit, dll), tidak ada tuntunan dari Islam,” tutur Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Syamsul Hidayat, dalam kajian Tarjih yang diselenggarakan Masjid Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dalam keterangan Rabu 3 November 2021.
Karenanya, terang Syamsul sambil mengutip Fatwa Tarjih, selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya sesungguhnya merupakan sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat Muslim Indonesia. Sebab dalam seremoni selamatan itu ada hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, maka kembali kepada tuntunan Islam.
Hubungan Ubudiyah dan Akidah
“Seremoni ini ada hubungannya dengan ubudiyah dan akidah. Orang memperingati tiga hari, tujuh hari, ada keyakinan di situ, ada ritualnya juga. Keyakinannya tidak sesuai dengan akidah Islam. ritualnya juga tidak ada contohnya dari Nabi Saw dan generasi pendahulu. Maka Majelis Tarjih menyarankan kembali pada tuntunan Islam,” tutur Syamsul Hidayat.
Rasulullah Saw pernah melarang ulama Yahudi yang bernama Abdullah bin Salam masuk Islam. Sebab dirinya ingin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya. Akhirnya, Abdullah bin Salam ditegur oleh Nabi Saw. Karenanya, umat Islam harus masuk kepada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sebahagian-sebahagiannya.
Syamsul menganjurkan ketika ada orang yang meninggal dunia, maka yang harus dilakukan ialah bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa.
“Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum,” tegas dosen UMS ini.