Benarkah Sogok Syariah? Ini Jawaban Prof Quraish Shihab
Belakangan muncul masalah baru, dari lontaran ustadz Abdul Somad yang mengatakan diperbolehkan menyuap untuk menjadikan seseorang sebagai pegawai. Itu namanya suap syariah atau sogok syariah. Spontan hal itu mendapat tanggapan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa hal itu justru menjadikan korupsi menjadi-jadi.
“Terus terang, saya kurang puas dengan masalah ini. Bagaimana sesungguhnya duduk masalah dan hukum pasti dari masalah suap, yang cenderung menjadikan korupsi berurar berakar!” Demikian Agus Santoso, warga Perumahan Mutiaran Residence, Sidoarjo, menanyakan hal itu pada ngopibareng.id.
Untuk menanggapi masalah tersebut, berikut penjelasan ulama Prof. M. Quraish Shihab. Hal itu memperjelas kasus, apa hukumnya orang yang memberikan sejumlah uang sogokan untuk mendapatkan suatu pekerjaan? Berikut lengkapnya:
Para pakar hukum dan agama sepakat bahwa sogok-menyogok terlarang dan hukumnya haram. “Para pemberi dan penerima sogok dikutuk Allah” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi). Rasul saw.mengutuk penyogok, yang disogok dan perantara keduanya (HR. Ahmad melalui Tsaubab).
Demikian dua dari sekian banyak hadits Nabi yang melarang sogok-menyogok.
Pengarang buku Subul as-Salam, ketika menguraikan hadits kelima belas tentang Qadha’ (Peradilan), mengemukakan, “Penyogok adalah yang memberikan sesuatu kepada satu pihak guna membantunya memperoleh yang batil.” Pengarang tersebut kemudian membagi pemberian pada empat macam.
Pertama, sogok, yaitu pemberian kepada satu pihak agar dia menetapkan sesuatu yang tidak hak, dalam hal ini si pemberi dan penerima sama-sama melakukan pelanggaran (haram). Kedua, pemberian guna memperoleh hak. Di sini si penerimalah yang enggan memberikan hak itu kecuali bila diberi yang dinilai berdosa, tetapi si pemberi terbebas dari dosa, karena, ketika itu, ia menuntut haknya sendiri, yang tidak dapat diperolehnya kecuali dengan memberi. Ketiga, adalah hadiah, dan keempat adalah upah. (Bukan di sini tempat untuk menguraikannya).
Pendapat di atas disinggung juga oleh Imam asy-Syaukani dalam bukunya, Nail al-Authar (jil. VIII, hlm. 277) sambil menyatakan, “Alamshur billah, Abu Ja’far, dan sebagian ulama bermazhab SyAfi’i, membenarkan seseorang menyogok selama sogokan itu untuk memperoleh haknya yang disepakati (pasti).”
Namun, pengarang buku tersebut menegaskan bahwa pendapat ini tidak dapat dibenarkan, “tidak ada dalil yang mengecualikan larangan umum tentang sogok menyogok, apalagi pada dasarnya haram memakan harta orang lain karena hal tersebut termasuk ke dalam kategori memakan atau menggunakan harta secara batil/tidak dibenarkan agama.”
Penulis mendukung pendapat terakhir ini, karena jika diizinkan menyogok untuk memperoleh hak, maka yang demikian itu membantu menyuburkan budaya sogok-menyogok. Setiap Muslim diwajibkan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan diwajibkan pula untuk tidak merestui kemungkaran.
Dengan menyogok, walau untuk memperoleh hak, maka itu merupakan keterlibatan dalam menyebarluaskan kemungkaran.
Memang, ada kondisi tertentu yang dapat ditoleransi oleh agama untuk melakukan satu pelanggaran, seperti menyogok, atau menandatangani kuitansi fiktif, yaitu ketika seseorang yang bila tidak melakukannya akan terjerumus dalam bahaya yang mengancam jiwa raganya (keadaan darurat) atau bila yang bersangkutan menduga keras akan terjerumus ke dalam kesulitan yang luar biasa. Ini yang diistilahkan oleh Al-Quran dengan dharurah dan haraj.
Saya yakin luputnya seseorang menjadi pegawai negeri, atau keharusan menandatangani kuitansi fiktif, belum cukup untuk membenarkan penyogokan dan penandatanganan kuitansi itu. Apalagi itu bukan merupakan hak saudara yang berada di tangan pihak lain, paling tinggi dia baru merupakan satu peluang dari sekian banyak peluang yang dapat Anda raih.
Demikian, wallahu a’lam.
Itulah jawaban Prof Muhammad Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qurân. Tulisan ini sudah dimuat sejak tahun 2011. (adi)