Benarkah Islam Larang Kreativitas dan Seni? Ini Penjelasan Ulama
Benarkah Islam melarang kreativitas dan seni? KH Husein Muhammad, di antara ulama pesantren yang tertarik membicarakan masalah tersebut, setelah soal bermain catur ada yang memberi hukum haram. Berikut ulasan KH Husein Muhammad:
Sesudah Catur, suatu hari nanti, tak lama lagi, main gitar, meniup seruling dan alat musik yang lain akan diharamkan, karena ia adalah "mizmar min mazamir al-Syaithan" alat musik setan dan melalaikan Tuhan.
Katanya :
صوتُ الشَّيطانِ هو الغناءُ والمَزاميرُ واللَّهْو.
Suara setan adalah nyanyian, seruling dan main-main, sendagurau.
Ada lagi yang bilang:
أنَّ صوتَ المعازفِ واستماعَ الأغاني واللَّهجَ بها يُنبتُ النِّفاقَ في القلبِ كما يَنبتُ العشبُ على الماءِ".
"Suara musik, mendengarkan nyanyian dan menikmatinya menumbuhkan kemunafikan dalam jantung, bagai rumput di atas air".
Kelak joget-joget juga haram, karena melalaikan Tuhan, kecuali Zapinan.
Andai begitu, Islam akan menjadi agama anti kesenian dan ekspresi-ekspresi keindahan. Betapa kering kerontangnya agama ini, bagai padang pasir tanpa oase.
Musik
Aku telah menulis ini, dalam buku "Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur" (2012) atau sekarang diubah "Samudera Kezuhudan Gus Dur" (2019):
Banyak ulama fiqh yang mengharamkan nyanyian dan tarian. Alat-alat yang digunakan mengiringi nyanyian juga mereka haramkan. Nyanyian dan tari-tarian, kata mereka adalah tradisi orang-orang kafir, Yahudi dan Nasrani. Fatwa-fatwa mereka menyebutkan bahwa mendengarkan music dan menikmatinya adalah suatu kemaksiatan, suatu dosa besar (min al-Kaba-ir).
السماع فسق والتلذذ بها كفر
“Al-Sima’ Fisq wa al-Taladzdzudz biha Kufr”
"mendengarkan music merupakan perilaku buruk dan menikmatinya adalah kekufuran".
Bunyi seruling itu, adalah tiupan mulut setan, iblis yang selalu mengajak untuk menarik hasrat-hasrat rendah, menipu melalaikan dan mencelakakan.
Berbeda dengan mereka, Imam al-Ghazali, sang sufi terbesar, justeru memberi apresiasi demikian tinggi atasnya. Dia menyanpaikan kata-kata indah seperti ini :
مَنْ لَمْ يُحَرِّكْهُ الرَّبِيْعُ وَأَزْهَارُهُ، وَالْعُودُ وَأَوْتَارُهَ، فَهُوَ فَاسِدُ الْمِزَاجِ، لَيْسَ لَهُ عَلاَجٌ
“Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati”.
Bagi al-Ghazali musik dapat meningkatkan gairah jiwa. Ia mengajak para pembacanya untuk merenungkan suara-suara burung nuri atau burung-burung yang lain. Suara-suara itu begitu indah, merdu dan menciptakan kedamaian di hati pendengarnya. Seruling yang ditiup, piano yang ditekan satu-satu, biola yang digesek-gesek atau rebana yang ditabuh adalah suara-suara.
Suara-suara ini hadir mengekspresikan lubuk hati yang dalam. Suara-suara itu tak ada bedanya dengan nyanyian para penyanyi. Katanya:
فَسِمَاعُ هَذِهِ الْاَصْوَاتِ يَسْتَحِيْلُ اَنْ يُحَرَّمَ لِكَوْنِهَا طَيِّبَةٌ اَوْ مَوْزُوْنَةٌ فَلاَ ذَاهِبٌ اِلَى تَحْرِيْمِ صَوْتِ الْعَنْدَلِيْبِ وَسَائِرِ الطُّيُوْرِ. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ حَنْجَرَةٍ وَحَنْجَرَةٍ وَلَا بَيْنَ جَمَادٍ وَحَيَوَانٍ. فَيَنْبَغِى اَنْ يُقَاسَ عَلى صَوْتِ الْعَنْدَلِيبِ وَالْاَصْوَاتِ الْخَارِجَةِ مِنْ سَائِرِ الْاَجْسَامِ بِاخْتِيَارِ الْآدَمِي كَا لَّذِى يَخْرُجُ مِنْ حَلَقِهِ اَوْ مِنْ الْقَضِيْبِ وَالطِّبْلِ وَالدُّفِّ وَغَيْرِهِ.
“Mendengarkan suara-suara ini mustahil haram. Bagaimanapun ia adalah suara-suara yang indah dan berirama. Tak seorangpun yang mengharamkan suara burung nuri dan burung-burung yang lain. Tak ada beda antara tenggorokan satu dengan tenggorokan yang lain, antara benda tak bergerak dan binatang. Maka seyogyanya suara burung nuri disamakan suara-suara manusia, atau suara-suara bambu, genderang, rebana dan lain-lain”.
Di tempat lain dia mengatakan dengan penuh kearifan : “Mendengarkan music penting bagi seorang yang hatinya dikuasai oleh cinta kepada Tuhan, supaya api cintanya berkobar-kobar. Tetapi bagi orang yang hatinya dipenuhi cinta hasrat duniawi yang fana, mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan, dan karena itu haram”.
Kata-kata al-Ghazali ini ingin menjelaskan bahwa tidak semua jenis music dan alat-alat yang digunakannya adalah haram, sebagaimana pandangan para ulama fiqh. Ia sangat tergantung pada motif. Bila gairah akan keindahan dari music itu diarahkan kepada Tuhan, gairah cinta kepada-Nya akan semakin kuat. Musik adalah tangga jiwa menuju Tuhan. Tetapi bila ia diarahkan untuk hasrat-hasrat duniawi ia akan mengarahkan kepada rangsangan-rangsangan keburukan dan kejahatan.
Musik Lagi
Tokoh sufi lain yang menghubungkan musik dengan spiritualitas Islam adalah Ruzbihan Baqli Syirazi.
Dalam “Risalah al-Quds”, dia menjelaskan signifikansi music, criteria orang-orang yang boleh mendengarkan dan jenis music yang pantas untuk dimainkan dan didengarkan.
Intelektual Muslim modern terkemuka, seorang parenialis Seyyed Hossein Nasr mengemukakan bahwa “music di dunia Islam adalah salah satu media paling universal dan berpengaruh untuk mengekspresikan hal yang terkandung di dalam inti Islam, yakni perwujudan “Keindahan Wajah Tuhan” dan kepasrahan pada Sang Realitas ini, Realitas yang sekaligus adalah Keindahan dan Kedamaian, Kasih Sayang dan Cinta itu sendiri”.
Bagi kaum sufi, music berfungsi menenangkan pikiran dari beban urusan kemanusiaan, menghibur kecenderungan alamiyah manusia dan menstimulasinya untuk melihat rahasia ketuhanan (asrar rabbani). Dengarlah ungkapan Sa’d al-Din Hamuyah :
“Ketika hati menikmati konser music spiritual
Ia merasakan kehadiran Sang Kekasih
Membawa jiwa ke ruang Rahasia-rahasia-Nya
Melodi adalah tunggangan jiwamu
Ia membimbingmu dengan riang
Ke dunia Sang Sahabat
24.11.19
HM