BEM Unair Kritik Kekerasan Aparat Melalui Unggahan Instagram
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya turut mengkritik banyaknya peristiwa kekerasan aparat yang terjadi di era Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Pernyataan tersebut mereka ungkapkan melalui postingan Intagram resminya @bem_unair. Unggahan tersebut berisi kecaman mereka atas aksi represif negara kepada warganya.
"Sudah berapa kali kami jumpai di sosial media ada aparat yang bertindak sewenang-wenang kepada masyarakatnya. Indikasinya adalah tindakan fisik, peretasan sosial media aktivis, buzzer, dan lain sebagainya," tulis BEM Unair, Rabu, 4 Agustus 2021.
"Jika rezim Jokowi-Ma’ruf Amin tidak ingin dikatakan bahwa rezimnya otoriter atau mengarah pada neo-otoritarianisme, maka sudah seharusnya pemerintah mengubah gaya pendekatan interaksi kepada masyarakat yang lebih humanis," tambahnya.
Presiden BEM Unair Risyad Fahlefi mengatakan, postingan tersebut merupakan bentuk kekecewaan atas aksi kekerasan yang sering terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini.
Kekerasan tersebut, kata Risyad, mulai dari pemukulan petugas Satpol PP kepada pedagang saat PPKM Darurat, hingga insiden kepala warga Papua yang diinjak oleh anggota TNI AU.
"Kami bisa lihat banyak kasus, mulai dari yang viral seperti kepala warga papua yang diinjak, hingga data dari KontraS yang sudah mencapai 651 kasus kekerasan oleh aparat dalam setahun. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan," kata Risyad.
Risyad menilai pendekatan yang digunakan pemerintahan Jokowi yang cendrung menggunakan represifitas sebagai alat 'penertiban'. Hal tersebut menurut dia sudah mencederai demokrasi.
"Yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah ruang dialog dan komunikasi, bukan baku hantam atau violence. Jika gaya kekerasan seperti ini dibiarkan, apa jadinya negara? Dan bagaimana demokrasi bisa berjalan dengan baik jika negara untuk ngobrol saja sudah main pukul?" keluhnya.
Risyad mengungkapkan, dalam setiap penanganan masalah negara harus menggunakan komunikasi publik yang baik. Agar tidak ada gesekan atau konflik di masyarakat.
"Hal ini dikhususkan bagi para aparat untuk bisa berkomunikasi daripada bertindak represif," tutupnya.