Belum Tentu Heated Tobacco Product Disambut Positif di Indonesia
Produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco products) belum jelas kapan akan masuk Indonesia. Padahal menurut pakar, salah satu produsen rokok di Indonesia, sudah bisa menghasilkan produk ini. Namun, produk ini malah belum dijual di Indonesia.
Pakar toksikologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Sho'im Hidayat, menyebut jika heated tobacco product, baru diproduksi oleh tiga pabrik besar rokok di dunia, yaitu, Jepang Tobbaco, Philip Morris dan Bentoel International yang berada di Indonesia.
Namun, meski Bentoel International sudah bisa memproduksi heated tobacco product, ternyata mereka belum menjualnya untuk pasar dalam negeri. Sho'im, juga tak yakin jika misalnya Bentoel International sudah mendapatkan izin edar untuk heated tobacco product dijual di Indonesia, akan disambut baik pasar perokok.
“Kalau pun masuk di Indonesia saya rasa pasarnya juga akan terbatas melihat harganya yang lebih mahal dari rokok konvensional," ungkap Sho'im Hidayat ditemui di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Merujuk di beberapa market place harga heated tobacco product memang dibanderol mahal, antara Rp600 ribu sampai Rp1,8 juta. Bergantung model dan merek yang ditawarkan.
Kata dia, orang merokok biasanya hanya menginginkan efek nikotin yang berpengaruh dalam tubuhnya. Kalau yang dinginkan hanya nikotin, tentu harganya akan menjadi pertimbangan utama di Indonesia.
"Mungkin heated tobacco product akan diterima di beberapa kalangan saja," imbuhnya.
Padahal, berdasarkan penelitian yang dilakukan produsen heated tobacco product mereka menyebut jika produk ini bisa jadi tak mengandungan TAR yang merugikan bagi tubuh. Mereka beralasan, karena tidak terjadi proses pembakaran pada heated tobacco product, maka kandungan TARnya menjadi 90 persen lebih rendah dari rokok konvensional.
Hal inilah yang mendasari beberapa pihak mengklaim bahwa heated tobacco product lebih aman dari rokok konvensional dalam hal resiko yang terjadi.
Namun meski diklaim lebih rendah kadarnya TAR, namun soal nikotin tetap sama beresikonya. Nikotin akan menjadi resiko yang yang berbahaya jika dikonsumsi dalam dosis yang berlebihan.
Sho’im mengumpakan nasi. Nasi itu tidak berbahaya pada tubuh. Tapi kalau berlebihan juga akan menyebabkan diabetes. Sama halnya dengan nikotin. Kalau terlalu banyak di tubuh akan menyebabkan penyakit. Tapi kalau dosisnya cukup tentu akan mendapat manfaatnya, seperti pikiran tenang dan lain sebagainya.
"Dosis itu tentunya ditentukan oleh masing-masing individu, kalau sudah cukup yang sudah. Prinsipnya yang berlebihan itu tidak baik," sambungnya.
Sho’im sebelumnya menyebut Indonesia bisa belajar dari Jepang terkait pengendalian tembakau. Produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco products) memiliki peranan penting dalam menurunkan angka perokok di Jepang. Produk tembakau yang dipanaskan adalah salah satu jenis dari kategori produk tembakau alternatif yang berbeda dengan rokok elektrik ataupun rokok.
Produk ini mengandung tembakau asli yang dibentuk menyerupai batang rokok atau yang disebut sebagai batang tembakau. Pada proses penggunaannya, batang tembakau itu dipanaskan pada suhu maksimum 350 derajat celcius, sehingga menghasilkan uap yang menghantarkan nikotin.
“Berdasarkan data American Cancer Society, sebelum ada produk tembakau yang dipanaskan, penurunan jumlah pembelian rokok di Jepang hanya sebesar 1,8 persen. Setelah produk ini dikenalkan, ternyata penurunan jumlah pembelian rokok mencapai 5,9 persen,” kata Sho’im.
Advertisement