Belum Ada Jaminan Keselamatan, UNHCR Sikapi Kasus Etnis Rohingya
Nasib pengungsi Rohingya menjadi perhatian dunia. Di sejumlah kamp pengungsi, mereka menderita dan membutuhkan bantuan bagi keberlangsungan kehidupan mereka.
Badan Pengungsi PBB, United Nation High Comissioner for Refugees (UNHCR), terus menyerukan bantuan internasional bagi pengungsi Rohingya di Bangladesh. Para pengungsi bahkan meminta para donor untuk tidak melupakan krisis pengungsi Rohingya dari Myanmar sejak lima tahun silam.
Lebih dari satu juta pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp kumuh di Bangladesh Selatan. Di pemukiman pengungsi terbesar di dunia tersebut mereka belum mendapatkan kepastian untuk kembali ke negara asalnya. Prospek repatriasi etnis Rohingya pun semakin mengecil seiring belum adanya kepastian pemberian hak kewarganegaraan atau hak-hak lain oleh pemerintah Myanmar.
“Hampir 1 juta pengungsi Rohingya tanpa kewarganegaraan. (Mereka) tinggal di Bangladesh dengan kondisi yang sangat padat. (Karenanya) mereka tetap sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk kelangsungan hidup mereka,” ungkap pernyataan resmi UNHCR kepada Reuters, dikutip Kamis 25 Agustus 2022.
Imbauan UNHCR
“Kebutuhan paling umum tidak terpenuhi termasuk nutrisi yang tepat, tempat tinggal, fasilitas sanitasi dan peluang untuk bekerja,” sambung UNHCR.
UNHCR, pada tahun 2022, menargetkan dana sekitar 881 juta Dolar Amerika Serikat bagi lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia. Para pengungsi yang dimaksud adalah komunitas Rohingya dan lebih dari setengah juta komunitas tuan rumah yang paling terkena dampak. Namun, dana yang berhasil terhimpun ‘hanya’ 49 persen atau 426,2 juta dolar Amerika Serikat.
“Komunitas global tidak boleh melupakan penderitaan kami. (Para donatur) harus membantu kami sebanyak yang mereka bisa,” tegas Mohammed Taher, koordinator pengungsi Rohingya di Bangladesh.
“Kami tidak mendapatkan izin bekerja di sini. Kami harus bergantung pada lembaga bantuan untuk makanan,” tambah Taher.
Etnis Rohingya, sambung Taher, ingin mendapatkan jaminan keselamatan dan mendapatkan pengakuan kewarganegaraan sebelum kembali. Namun, PBB mengatakan kondisinya belum tepat bagi etnis Rohingya untuk kembali.
Sebagai informasi, sebagian besar etnis Rohingya pergi dari negara bagian Rakhine pascapenyerangan junta militer Myanmar pada 2017. PBB menganggap bahwa serangan junta militer merupakan tindakan dengan niat genosida. Akan tetapi, junta militer Myanmar membantah tuduhan tersebut. Mereka berdalih melancarkan kampanye pemberantasan kelompok etnis bersenjata yang telah menyerang pos polisi di Rakhine.