Belasan Tahun, Keluarga Ini Tinggal di 'Gubuk Derita'
Kalau judul-judul lagu dangdut seperti, "Gubuk Derita", ‘Orang Termiskin di Dunia’, dan ‘Makan Sepiring Berdua’ hanya karya rekaan. Tetapi kemiskinan yang sesungguhnya ternyata terselip di antara gegap gempita pembangunan di Kota Probolinggo.
Adalah keluarga Seninan, 42 tahun dan istrinya, Sri Astutik, 39 tahun yang tinggal di gubuk kecil berukuran 7 x 2,5 meter persegi sejak 15 tahun silam.
Kini kondisi gubuk dari anyaman bambu (gedhek) di Jalan Cangkring 04 RT 02 RW 02 Kanigaran, Kecamatan Kanigaran itu semakin memprihatinkan karena tiangnya miring, dinding gedhek berlubang, dan atapnya bocor.
Pasangan suami istri (pasutri) ini tinggal di gubuk kecil yang dikelilingi batang-batang pisang. Ia tinggal bersama dua anaknya, ditambah dengan ibu Sri Astutik bernama, Suwarni, 66 tahun. Betapa sumpek rumah yang ukurannya lebih kecil dibandingkan rumah tipe 21 itu dihuni lima orang.
Suasana semakin “horor” jika angin bertiup kencang dan musim hujan. "Kalau musim hujan rumah yang kami huni bocor di sana-sini. Angin kencang juga menerobos masuk," kata Sri Astutik, Kamis, 29 Agustus 2019.
Gubuk yang bentuknya memanjang itu disekat menjadi tiga bagian. Bagian depan sebagai ruang tamu, ruang tengah untuk tempat tidur, dan ruang dapur yang juga difungsikan untuk mencuci perabot rumah tangga.
Di ruang tamu ada beberapa kursi, namun tidak layak untuk diduduki karena berantakan dan ditempati barang dagangan. Di ruang tengah, ada dua dipan yang salah satunya tanpa kasur serta lemari pakaian.
Di tengah ruang ada tiang bambu yang posisinya miring. Tiang itu menyangga langit-langit dari anyaman bambu yang menggelayut nyaris ambrol. "Kalau tidak ditahan, langit-langit di atas bisa ambrol," kata Sri.
Sri mengaku, untuk mandi keluarganya menumpang di rumah adiknya. Hanya cuci piring (korah-korah) yang dilakukan di dapur rumahnya. Sementara air untuk korah-korah berasal dari rumah ibunya.
Pada "jam kerja" hanya Suwarni yang tinggal di gubuk reot itu. Seninan sebagai tulang punggung keluarga berjualan asongan makanan dan minuman keliling.
Sementara Sri menjadi pembantu di sebuah Warung Nasi 27 di dekat rumahnya. Dan dua anaknya bersekolah di sekolah dasar (SD).
Sri mengaku, tak cukup memiliki uang untuk memperbaiki rumahnya. Pasalnya ia hanya mengandalkan pemasukan dari membantu jualan nasi jagung milik tetangganya.
Sedangkan suaminya, pedagang asongan yang saban hari menjajakan jualannya di alun-alun ketika Pasar Minggu. "Harapannya ada perhatian dari pemerintah kalau memang bisa," ujarnya.
Sementara itu Lurah Kanigaran Dwi Arianto mengaku, sudah tahu soal kondisi warganya tersebut. Dikatakan rumah tidak layak huni itu segera diperbaiki.
"Rumah tersebut sudah kami ajukan sebagai penerima manfaat renovasi RTLH. Sehingga tinggal eksekusi saja dan kini dalam proses," kata Dwi. (isa)