Belajar Oposisi Pada Bung Hatta
Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin telah resmi dilantik. Jokowi secara maraton juta telah memanggil calon-calon menterinya. Tak hanya dari partai koalisi, bahkan Prabowo yang menjadi rival utama di pilpres juga dijadikan kandidat menteri. Barisan penyeimbang pemerintahan-pun kini layu sebelum berkembang dan hanya menyisakan PKS di barisan #KamiOposisi.
Kini seluruh rakyat berharap banyak pada duet Jokowi-Ma'ruf. Publik memahami, Kiai Ma'ruf dipilih Jokowi di detik terakhir untuk mengimbangi politik identitas yang mengemuka dan merusak negeri ini. Sang kiai dipilih lebih untuk melengkapi elektoral Jokowi.
Namun, kita tetap harus menaruh harapan dari Kiai Ma'ruf. Keraguan publik harus segera dijawab. Mantan Rois Aam PBNU ini harus bisa menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pelengkap.
Bung Hatta (Mohammad Hatta) sebagai pendamping Sukarno adalah sebuah pelajaran. Mengharapkan Kiai Ma'ruf seperti Bung Hatta memang berlebihan. Namun, meniru gaya oposisi Bung Hatta di tengah ramainya partai politik yang masuk ke gerbong kekuasaan adalah sebuah kebajikan.
Sejarah mengingatkan, Dwitunggal Sukarno-Hatta nyatanya tak pernah benar-benar satu. Hatta tak hanya menjadi cap stempel bagi Sukarno. Hatta bahkan tercatat sebagai pengkritik utama Sukarno.
Hatta mengambil posisi sebagai penyeimbang di tengah arus elit yang kala itu mendewakan Sukarno. Hatta kerap berseberangan, salah satunya ketika menolak ide Sukarno tentang peran warga dalam membangun negara.
Puncak perbedaan Sukarno-Hatta terjadi ketika sang proklamator menawarkan sistem politik baru, demokrasi terpimpin. Dengan sistem baru ini, seluruh keputusan ditumpukan ke pimpinan negara yakni Sukarno.
Sejak saat itulah, Hatta tak hanya berbeda, tapi juga beroposisi dengan apa yang menurutnya adalah sebuah kediktatoran.
Hatta juga terus mengkritik Sukarno atas pembagian peran kekuasaan yang tak pernah adil menurutnya.
Hatta kemudian mundur dari jabatan wakil presiden pada 1956 setelah kabinet konstituante terbentuk. Kepada anak angkatnya, Des Alwi Abu Bakar, Hatta berkisah tentang pengunduran dirinya.
"Aduh, Des, Om cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan dengan saya. Jadi Om berhenti saja jadi wakil presiden," ujar Hatta pada Des Alwi seperti dikutip dari buku 'Wapres: Pendamping atau Pesaing?'
Dari Hatta, Ma'ruf hendaklah belajar bahwa kekuasaan adalah amanah. Presiden bukanlah dewa dan tuhan yang tak pernah salah. Kritik kepada presiden bisa dilakukan asalkan untuk kebajikan dan kemajuan bangsa.
Kini, rakyat menunggu. Tinta apa yang kelak akan dicatatkan Kiai Ma'ruf. Tinta emaskah? seperti yang telah dicatatkan seniornya di NU yakni KH Abdurrahman Wahid, atau malah tinta hitam yang akan terus diingat sejarah.
Advertisement