Belajar Toleransi ke Muhammadiyah, Ini Alasan Akademisi Myanmar
Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, menerima rombongan tamu dari Myanmar di gedung PP Muhammadiyah, Menteng Raya Jakarta Pusat. Rombongan tersebut merupakan peserta karya wisata forum Myanmar-Indonesia yang diinisiasi Ma’arif Institute yang bekerja sama dengan Institute Republican International.
Para peserta karya wisata tersebut beragam latar belakang dan agama, antara lain dari akademisi dan anggota parlemen dari Myanmar serta perwakilan NGO yang ada di Myanmar. Kunjungan tersebut dalam rangka melakukan studi kebijakan mengenai peran dan posisi Muhammadiyah dalam kaitannya sebagai civil society. Demikian siaran pers diterima ngopibareng.id, Sabtu (3/2/2018).
Lebih khusus, ada tiga pokok tujuan yang ingin mereka dapatkan dari Muhammadiyah. Di antaranya, bagaimana ormas di Indonesia mempromosikan kebebasan beragama yang damai, apa saja peran yang dilakukan oleh ormas termasuk memaksimalkan peran dalam proses legislasi yang ada di dewan, dan bagaimana TNI dapat kembali ke barak. Pokok pertanyaan tersebut ingin mereka lihat dari sisi subjektif Muhammadiyah.
Selain menyambut baik kehadiran mereka dalam pertemuan Rabu (31/1) lalu, Abdul Mu’ti sangat mengapresiasi pokok pertanyaan tersebut.
Dijelaskannya, Muhammadiyah sebelum maupun sesudah berdirinya negara Indonesia selalu berusaha memaksimalkan peran sebagai bagian dari civil society yang membangun pemerintahan.
Karena itu, partisipasi kehadiran Muhammadiyah harus dicatat dalam pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia dan lahirnya reformasi 1998.
“Muhammadiyah ikut berkontribusi merumuskan Pancasila melalui tiga orang anggotanya,” ujar Mu’ti.
“Soekarno, Soeharto itu juga orang Muhammadiyah, serta Amien Rais juga merupakan tokoh Muhammadiyah yang menjadi salah satu tokoh kunci pada reformasi 1998. Sampai sekarang, banyak kader maupun simpatisan Muhammadiyah yang tersebar di pemerintahan. Muhammadiyah menjadi bagian dari perkembangan negara,” jelas Mu’ti.
Kendati melahirkan banyak tokoh politisi besar, Muhammadiyah, menurut Mu’ti bukanlah gerakan politik. Muhammadiyah adalah organisasi yang netral tanpa afiliasi politik tertentu.
“Daripada berpolitik praktis, kami lebih pada menginspirasi para politisi, posisi Muhammadiyah adalah sebagai oppresor,” ujarnya.
Mengenai perbedaan dan toleransi, Muhammadiyah menurutnya sangat aktif dalam melakukan dialog antar keyakinan. Bahkan menurut Abdul Mu’ti, di beberapa tempat seperti Sulawesi Utara, NTT, dan Papua, yang menjadi mayoritas siswa di universitas maupun sekolah Muhammadiyah adalah masyarakat non-muslim. Muhammadiyah, menurutnya banyak berkiprah dalam masalah sosial melalui lembaga pendidikan dan kesehatan yang sama sekali tidak ekslusif.
“Muhammadiyah memiliki ‘fikih minoritas’ dalam perspektif Islam. Pada kongres terakhir, ditekankan pentingnya dialog dan melindungi minoritas,” ujarnya.
Abdul Mu’ti menyatakan Muhammadiyah sangat menyambut baik kunjungan dari berbagai elemen yang datang dari Myanmar tersebut beserta antusias mereka untuk mempelajari mengenai peran Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstruktif. (adi)