Belajar Legowo, seperti Sandiaga Uno
Sandiaga Salahudin Uno (sepertinya) sudah ikhlas menerima kekalahannya di Pilihan Presiden kali ini. Tentu ada hal yang membuat saya yakin jika dia sudah ikhlas dengan kekalahannya, salah satunya raut wajah.
Bagaimana bisa seseorang walau dalam keadaan sakit tidak menunjukkan raut bahagia kala menang dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Toh, ternyata Sandi masih mampu untuk berdiri dan menghadiri "pidato kemenangan" yang ketiga kalinya dari Prabowo.
Sebegitu beratkah bagi Sandi untuk menunjukkan senyum dan gesture semangat yang membuat pendukungnya optimis dan kembali yakin. Kalau Prabowo yang akan memasuki usia 68 tahun pada Oktober 2019 saja bisa, mengapa Sandi yang lebih muda 19 tahun seolah-olah “mengempet” selebrasinya ?
Tentu saja kita bisa menerima alasan faktor kesehatan yang menurun dari dalam tubuh Sandi. Bayangkan dia sudah berkampanye di sekitar 1600 titik yang tersebar di seluruh Indonesia. Pasti lelah saya yakin.
Namun ada hal positif yang bisa kita petik dari ekspresi eks-Wakil Gubernur Jakarta ini. Jawabannya tentu adalah sikap legowo. Tidak semua orang yang sudah habis-habisan dalam berkampanye bisa legowo menerima kekalahan.
Kita bisa bandingkan dengan fenomena para calon legislatif (caleg) yang mendadak jatuh stress hingga gangguan jiwa setelah dinyatakan kalah dalam pemilu legislatif. Tentu saya tidak hanya membandingkan dampaknya namun juga akan membandingkan seberapa banyak uang yang sudah digelontorkan para politikus di daerah untuk merebut hati pemilih.
Di level DPRD Kabupaten/Kota, caleg yang berangkat dengan partai yang posisinya “pas-pasan” membutuhkan dana sekitar 500 juta untuk berkampanye. Itupun tidak ada jaminan akan terpilih.
Sementara kita tengok di level DPR RI yang tentu akan lebih dalam untuk merogoh kocek. Butuh sekitar minimal 2 Miliar untuk berkampanye. Apalagi bagi figur yang namanya tidak populer di daerah pemilihannya. Tentu saja itu juga tidak menjamin mereka bisa terpilih.
Jika kita range berapa banyak uang yang digelontorkan para caleg mungkin di angka ratusan juta hingga miliaran rupiah. Tidak ada apa-apanya dari yang dikeluarkan oleh Sandiaga demi kursi wakil presiden di Pilpres 2019 kali ini.
Tercatat Sandi sudah menerima uang sekitar Rp 671,17 Miliar dari penjualan beberapa persen sahamnya di PT Saratoga. Pada Desember 2018 lalu, Sandi mengatakan jika dia menjual sahamnya untuk kepentingan kampanye selama Pilpres 2019 kali ini.
Dana itu belum termasuk dengan isu bahwa Sandiaga memberi mahar sekitar 500 Miliar kepada partai pengusung agar memuluskan jalannya menjadi wakil Prabowo.
Jika isu itu benar, Sandiaga telah menggelontorkan uang sekitar 1,17 Triliun lebih. Itu hanya yang menguap di permukaan. Bagaimana yang tidak menguap ? kita tentu tidak bisa mengira-ngira. Sandiaga tentu tidak akan jatuh miskin dengan jor-jorannya selama kampanye. Karena kekayaan lelaki kelahiran Rumbai, Pekanbaru tersebut mencapai 7,2 Triliun.
Sikap ‘legowo’ Sandi memang patut di apresiasi. Bayangkan dalam setiap kampanye dia selalu berjumpa dengan para pendukung kubu lawan. Bahkan mungkin saking “baik hatinya” dia sampai mengacungkan pose satu jari saat diajak relawan pendukung 01 berfoto di Bali beberapa waktu lalu.
Namun saat dia telah habis-habisan dalam pemilu dan sudah mengeluarkan uang sebanyak itu, dia hanya mengalami gejala gangguan radang lambung dan radang tenggorokan. Dia juga tidak berkoar-koar apapun tentang hasil pilpres kali ini. Hanya mengingatkan relawan agar menjaga C1 pemilu. Itupun lewat InstaStory!
Bagi saya tidak semua orang bisa selegowo dia. Tidak mudah memang meraih simpatik dari rakyat. Namun juga lebih tidak mudah lagi untuk bersikap legowo menerima kekalahan setelah apa yang dia lakukan selama hampir 8 bulan terakhir.
Kalau orang Surabaya dan sekitarnya bilang “entek bebek entek meri”. Atau mungkin kita bisa samakan dengan pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”. Saham PT Saratoga pun melorot tajam usai Quick Count yang diumukan oleh beberapa lembaga survei menunjukkan pasangan 02 kalah dalam pilpres kali ini.
Sandiaga memang masih berpeluang untuk maju dalam Pilpres 2024 nanti. Mengingat usahanya selama ini membuat dia meraih “Pole Position” dalam urusan elektabilitas. Entah siapa penantangnya nanti.
Namun dari sikap yang ditunjukkan oleh Sandiaga, seharusnya Prabowo yang besar di dunia militer lebih memiliki jiwa yang ksatria ketimbang wakilnya tersebut. Bukankah sikap legowo juga mewakili sikap ksatria.
Kita tentu berharap suhu politik yang memanas akan menjadi adem ayem lagi. Tidak akan ada “People Power” yang tentu menganggu situasi keamanan negara jika salah satu paslon kalah. Bukankah negara ini sudah dewasa dalam menjalankan demokrasi pemilihan presiden sejak 2004 silam ? (Faiq Azmi)
Advertisement