Dialog di Vatikan, Gus Yahya: Lawan Pemecah Belah Bangsa
Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staqut mengingatkan, bangsa Indonesia harus bersikap tegas terhadap fenomena pemecah belah masyarakat. Pemerintah dan warga negara Indonesia harus mengambil sikap melawan terhadap upaya yang bertujuan memecah belah bangsa.
"Selama ini kita lebih banyak diam dan melawannya dengan wacana toleransi dengan mengedepankan cinta kasih atau rahmah dalam bahasa Islam. Hal itu ternyata tidak cukup. Saatnya kita melawan dan bergerak bersama-sama," kata Gus Yahya, panggilan akrab anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) ini.
Gus Yahya, yang Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibiin Rembang ini, mengungkapkan hal itu, di depan rohaniwan Katolik di Kedutaan Besar RI untuk Tahta Suci, Roma di Vatikan, Kamis 26 September 2019.
Selain Dubes RI untuk Tahta Suci Agus Sriyono, pertemuan tersebut dihadiri Uskup Pontianak Mgr Agustinus Agus, dan Ketua Umum PP Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, serta sejumlah tokoh masyarakat di Vatikan. Demikian CEO ngopibareng.id, Arif Afandi, melaporkan langsung dari Vatikan.
Kerja sama NU dengan kalangan Katolik, kata Gus Yahya, tidak cukup hanya seperti yang selama ini dilakukan. Gus Yahya mengajak semua pihak untuk berani mengambil sikap decisive dan terencana.
"Kalau memang harus berbenturan, ya kita lawan. Tak boleh lagi diam. Ini yang pernah saya minta kepada GP Ansor saat ada kirab di Jatim sebelum HTI dibubarkan," katanya.
Keputusan ini diambil, menurut Gus Yahya, setelah melihat kondisi di Timur Tengah yang kian hari kian tidak jelas, kian tidak beradab. "Kalau kita tidak berani melawan, bisa-bisa kita menjadi seperti mereka," katanya.
Pembicaraan yang berkembang, seputar persoalan dunia dan politik global. Di tengah kondisi global yang kian tak menentu, menurut Gus Yahya, rakyat Indonesia harus mengambil sikap untuk melawan tindakan yang memecah belah bangsa.
"Toleransi semata tidak cukup untuk melawan itu. Karena upaya memecah belah bangsa terbukti membuat hampir semua negara di Timur Tengah tak lagi mampu berpikir mencari jalan keluar bagi bangsanya sendiri," tuturnya.
Sebagai bangsa yang terus berjuang di tengah perubahan dunia, diingatkan Gus Yahya, kita tidak boleh menoleh ke belakang. Terlalu banyak alasan yang bisa membuat semua umat beragama terlibat dalam konflik. Jika menoleh ke belakang, Perang Salib selama ratusan tahun itu, telah membuat umat Islam dan Kristen punya banyak alasan untuk saling membenci.
Ketika diminta mengantar Gus Yahya ke Vatikan, Mgr Agus langsung menjawab bersedia. “Saya tahu ini bukan kunjungan biasa. Ini punya makna simbolik yang muda-mudahan berguna buat bangsa kita,” katanya.
Pada bagian lain, Yaqut Cholil Qoumas, menambahkan, GP Ansor akan terus bergerak untuk melawan radikalisme dan sikap intoleran. Sangat banyak warga negara kita yang baik, tetapi tidak bersuara.
Beberapa pastor yang hadir menyampaikan pengalamannya bekerja sama dengan Gerakan Pemuda Ansor. Pastor Agus dari Yogyakarya mengakui dapat memimpin misa Natal dan Paskah dengan tenang karena kehadiran Banser (Barisan Ansor Serbaguna).
"Bahkan, jauh hari sebelum Natal, beberapa teman Ansor ikut hadir dalam rapat kepanitiaan. Ini yang membuat kami tenang," ujar Agus yang sudah tiga tahun berada di Vatikan.
Belajar Kebijaksanaan Sejarah
Pada bagian lain Gus Yahya mengingatkan, masyarakat Jawa zaman dulu bisa jadi contoh model bagaimana menjadi warga negara yang baik.
"Orang Jawa itu tidak pernah mengatakan kafir bahkan kepada saudaranya yang beragama lain. Saya kira beberapa suku bangsa juga punya sikap seperti itu," katanya.
Kalau membaca sejarah, kata Gus Yahya, warga Eropa selama ribuan tahun terlibat perang tidak mengenal peradaban seperti Jawa. Contoh paling jelas yang tersisa adalah di Irlandia, yang hanya karena beda pemahaman agama, sampai sekarang masih terpecah.
Menurut Gus Yahya, ketika Barat mulai mengenalkan dan menggaungkan humanisme yang didasarkan pada Kristen, mereka cepat bergerak maju.
“Sekarang barat jauh lebih maju, meskipun masih menyisakan beberapa hal seperti di Irlandia itu,” katanya.
Dubes Agus Sriyono pada kesempatan itu mengatakan, mirip Indonesia negara di Eropa juga mulai bergerak ke kanan. Hanya saja, di Eropa berbeda dengan kanan di kita.
"Kanan Eropa adalah sikap nasionalisme berlebihan dan ujungnya anti-pengungsi," kata Agus Sriyono.