Belajar dari Hamzah Haz
Oleh: Eep Saefulloh Fatah
Politik Anggaran. Inilah kata yang saya lekatkan pada Dr Hamzah Haz saat saya kuliah di jurusan Ilmu Politik FISIP UI, akhir 1980an hingga awal 1990an. Tandem dengan Umar Basalim, Hamzah Haz saat itu memang sangat kerap menulis dan berbicara tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Saat itu Pak Hamzah adalah salah seorang Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang paling banyak dikenal, terutama di dunia kampus. Ulasannya tentang APBN dan berbagai ihwal berkaitan dengan anggaran pembangunan sangat ditunggu dan dijadikan rujukan. Koleganya di DPR saat itu sering menyebut Pak Hamzah sebagai 'Kamus Berjalan APBN'.
Di zaman itu, saya sempat hadir dalam beberapa diskusi yang salah satu narasumbernya Pak Hamzah. Tentu saja saat itu Pak Hamzah tak kenal saya.
Baru di ujung Orde Baru, saat kekuasaan Soeharto hamil tua dan bersiap melahirkan Gerakan Reformasi, saya mulai mengenalnya secara pribadi. Ini terjadi hampir bersamaan dengan transformasi Pak Hamzah dari pembentuk opini yang mumpuni di bidang politik anggaran menjadi pembuat kebijakan utama dalam ihwal anggaran, investasi dan kesejahteraan rakyat.
Di bawah kepemimpinan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, Hamzah Haz menjadi Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM. Di dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, ia dipercaya menjadi Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan.
Puncaknya, lewat pertarungan dramatis dalam Sidang Istimewa MPR 2001, Hamzah Haz terpilih menjadi Wakil Presiden ke-9 RI, mendampingi Presiden Megawati Sukarno Putri. Melalui kontestasi yang alot dan penuh drama, Hamzah Haz meraih 340 dari total 610 suara, mengalahkan Akbar Tanjung.
Saya masih ingat, di masa itu, terdampak oleh Siaran Langsung televisi yang diakses banyak sekali orang, di mana-mana orang banyak menirukan penyebutan lantang nama “Hamzah Haz!” oleh penghitung suara di SI MPR itu.
Saya sempat menjadi saksi hidup transformasi Pak Hamzah itu. Suatu hari, saya ikut terundang untuk berbicara dalam diskusi sangat terbatas dengan Pak Hamzah Haz di Istana Wapres. Hadir juga analis politik dan ekonomi lain seperti Fachry Ali dan Didik Rachbini. Pak Hamzah memaparkan banyak rencana langkah kerja dan kebijakan pemerintahan. Sekalipun ia berbicara dengan tema yang cukup luas, tetapi kepedulian dan keahliannya di bidang anggaran pembangunan amat sangat terasa.
Namun, sebagai pembelajar Ilmu Politik saya tak hanya mengenalinya dari sisi kompetensinya di bidang anggaran. Pak Hamzah adalah tokoh sangat penting yang ikut menyelamatkan PPP dari sapuan angin Reformasi.
Dalam sebuah perbincangan pribadi — jauh setelah ia tunai memimpin PPP (1998-2007) — Pak Hamzah bercerita tentang momen-momen penting genting penyelamatan PPP itu.
Reformasi datang sebagai musim semi partisipasi politik. Partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan. Sebagian (besar) partai yang lahir itu menamakan dirinya “partai Islam” atau “partai kalangan Islam” plus mengklaim “merepresentasikan pemilih Islam” menjelang Pemilu pertama era Reformasi, 1999.
Sebagai Ketua Umum PPP ia sadar benar bahwa jika tak mampu mengelol diri secara layak, PPP bukan tak mungkin hilang tergerus Zaman Baru. Terlebih-lebih, di antara tiga partai warisan Orde Baru, PPP dan (terutama) Golkar dianggap sangat berbau Orde Baru dan dikontraskan dengan PDI — terutama diwakili PDI Perjuangan — yang sebaliknya menjadi “saluran kemarahan atas Orde Baru”.
Langkah penting dan genting yang dilakukan kepemimpinan Pak Hamzah di PPP antara lain mengembalikan logo partai ke Ka’bah. Perubahan logo ini, menurut Pak Hamzah, adalah respons atas desakan Para Kyai yang menginginkan PPP berbenah serius, dan dihasilkan melalui istikharah Pak Hamzah di Tanah Suci Makkah. Bahkan menurut Pak Hamzah, keputusan perubahan logo itu ia ambil di depan Ka’bah.
Bukan sekadar soal logo itu yang tentu saja mesti dicatat sebagai warisan penting Ketum Hamzah Haz. Secara umum, berkat kepemimpinannya, PPP bisa bertahan secara elektoral dalam Pemilu 1999 dengan raihan suara signifikan. Pemilu 1999 adalah vonis hidup-mati buat PPP. Pak Hamzah memberi kontribusi tak main-main untuk membuat PPP tak menemui azalnya di awal Reformasi itu — dan berhasil juga mempertahankan eksistensinya dalam ujian terdekat berikutnya: Pemilu 2004.
Di dalam pemerintahan yang ikut dikelolanya (sebagai Menteri dan Wapres), di dalam PPP serta kiprahnya di parlemen, Hamzah Haz menjadi penanda kualifikasi politisi yang layak. Ia bukan politisi karbitan, melainkan menjadikan arena politik sebagai kelanjutan dan perluasan dari aktivisme yang ia geluti sejak belia. Sejak menjadi siswa sekolah menengah pertama, ia sudah aktif berorganisasi dan mengasah diri menjadi aktivis.
Aktivisme adalah modal dasar yang sangat krusial buat politisi. Tapi Hamzah Haz tahu persis bahwa itu saja tak cukup. Ia membangun kapasitas dirinya secara serius hingga akhirnya digelari Begawan APBN yang menggambarkan kecakapan teknokratisnya di bidang anggaran dan ekonomi pembangunan. Kompetensi ini tentu saja tak jatuh langit. Ia menjemputnya, meraih dan memperjuangkannya, dimulai saat ia menjalani perkuliahan di Akademi Koperasi Yogyakarta dan kemudian jurusan Ekonomi Perusahaan di Universitas Tanjungpura.
Hamzah Haz kemudian melengkapi dirinya dengan kerewelan mengelola partai dengan segala tuntutan elektoralnya. Di PPP, pemimpin demi pemimpin datang dan pergi silih berganti. Tetapi, Hamzah Haz lah yang layak disebut sebagai peletak dasar reorientasi PPP ke arah partai yang sadar dan sensitif pada kebutuhan political marketing — mengorientasikan dirinya pada pemilih. Sayangnya, belakangan, inilah yang berulang-ulang dikhianati oleh PPP.
Satu momen yang sulit saya lupakan adalah ceramah pendek Pak Hamzah yang menjadi bagian dari acara Penutupan Muktamar IX PPP, Desember 2020. Penutupan dipusatkan di Bogor. Pak Hamzah berbicara secara online. Melalui sebuah video yang sudah direkam sebelumnya.
Intisari terpokok pesan Pak Hamzah di mata saya adalah anjuran untuk tidak berkhianat pada Ummat jika mengaku diri sebagai partai pembela Ummat. Pesan ini sederhana tetapi sangat menohok. Pesan itu menggugat salah satu penyakit akut dalam politik dan demokrasi kita yang semakin kita rasakan hari-hari ini: Begitu banyak politisi dan partai yang berkhianat pada warga, publik, rakyat yang diatasnamakannya, tanpa rasa berdosa.
Hamzah Haz lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, 15 Februari 1940. Ia adalah salah satu bintang paling terang dari atas langit Kalimantan Barat yang sinarnya menjangkau ke tempat-tempat lain di Indonesia.
Allah meredupkan Sang Bintang dengan memanggilnya pulang. Dalam usia 84 tahun 5 bulan dan 9 hari, Pak Hamzah tutup usia. Semoga Allah SWT, Tuhan Sang Maha Kasih, menyambut Pak Hamzah dengan hangat dan memberikan Tempat Paling Indah dalam keabadian.
Advertisement