Belajar dari Flu Spanyol 1918, Gotong Royong Atasi Pandemi
Beda pandang antara pemerintah dan masyarakat
Kendati penyampaian himbauan kesehatan dan penanganan pandemi Flu Spanyol 1918 sudah dilakukan, namun hal itu tidak menutup adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat.
Sejarawati Universitas Indonesia Dr. Tri Wahyuning M. Irsyam, MSi. mengungkapkan, rata-rata masyarakat pada wabah Flu Spanyol saat itu berkeyakinan bahwa wabah yang melanda berasal dari alam, kendati pemerintah berusaha meyakinkan bahwa hal itu berasal dari adanya transmisi dari pendatang.
“Mereka masyarakat melihat, bahwa sumber penyakit ini adalah dari alam. Dari debu, dari angin, dan sebagainya. Sementara pemerintah melihatnya, pihak pemerintah Belanda dalam hal ini ini adalah dari luar. Pendatang yang datang ke Indonesia itu membawa, atau carrier,” ungkap Tri.
Adanya perbedaan pendapat yang membuat penanganan penyakit justru menjadi lambat tersebut kemudian juga memantik kepedulian para tokoh nasional yang akhirnya bergerak untuk perubahan. Salah satunya adalah dr. Tjipto Mangunkusumo dengan para siswa STOVIA dan munculnya mantri-mantri kesehatan.
Melalui gerakannya, himbauan penerapan protokol kesehatan digalakkan. Selain itu, tercetuslah beberapa upaya lainnya seperti pemanfaatan ramuan jamu tradisional untuk penanganan penyakit. Kemudian pelabuhan sebagai pintu masuk Hindia Belanda harus ditutup sementara dan dibatasi pergerakannya.
Beberapa rumah penyintas diberi tanda bendera kuning, dengan tujuan untuk mencegah adanya masyarakat yang datang dan berpotensi tertular dan beberapa langkah lain yang juga menimbulkan pro dan kontra.
Apabila kembali melihat pada literasi sejarah Flu Spanyol 1918, Tri mengatakan bahwa masyarakat dan Pemerintah Hindia Belanda atau Indonesia pada saat itu memang belum benar-benar siap.
Segala informasi mengenai pandemi yang masuk ke Hindia Belanda pada saat itu menjadi sempat tidak terlalu dihiraukan bahkan sampai akhirnya memicu perbedaan pendapat antara pemerintah dengan masyarakatnya.
Satu pelajaran penting yang kemudian dapat dipetik dari pandemi seabad silam, menurut Tri, kita belajar dari literasi masa lalu menjadi penting untuk menangani masalah yang tidak jauh beda di masa sekarang maupun di kemudian hari.
Dalam hal ini, penyamaan persepsi dan pemahaman menjadi kunci bagaimana pandemi dapat lebih mudah ditangani.
“Masalah lalu itu bukan hanya untuk masa lalu, tapi juga untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Jadi marilah kita melangkah dengan kearifan masa lalu,” kata Tri.
Sejalan dengan Tri, Kresno Brahmantyo juga menganggap bahwa catatan atau rekaman kelam mengenai ‘pageblug’ hendaknya dapat dijadikan sebagai pembelajaran, baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang.
Sebab menurut Tri, setiap peristiwa atau bencana dapat berulang dan tentunya dibutuhkan solusi penanganan yang sama untuk ke depannya.
“Mulailah kita mulai membuat rekaman (catatan). Supaya nanti ketika 10 atau 20 tahun yang akan datang kita punya data untuk menghadapi ini semua. Karena ini berulang, dan kelihatannya solusinya sama juga,” tutur Kresno mengakhiri.
Dalam foto bersejarah, penjual jamu keliling, yang beraktivitas di pusat-pusat perekonomian tradisional Jawa pada tahun 1920-an.
Ketika terjadi wabah influenza pada tahun 1919 di Jawa, sebagian besar masyarakat Jawa berpaling pada pengobatan dengan jamu.
Setidaknya dua faktor menjadi dasarnya: yang pertama pengobatan medis Barat belum banyak dikenal oleh masyarakat, dan yang kedua jamu dipercaya mampu menyembuhkan penyakitnya serta terjangkau oleh masyarakat. (Lampiran Buku “Yang Terlupakan Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda”)