Belajar Banyak dari Dipo Alam
Oleh: Fathorrahman Fadli
Di kalangan aktivis gerakan Mahasiswa tahun 1970 an dan 1980 an, nama Dipo Alam terbilang sangat melegenda. Ia adalah sosok aktivis yang pruden, pandai bergaul dan pandai meyakinkan para pejabat negara.
Dipo juga dikenal luas sebagai aktivis yang sangat idealis. Pada dirinya bersenyawa antara aktivisme gerakan mahasiswa yang kerap menyuarakan idealisme dan kenyataan objektif politik yang tak bisa begitu saja dilawan ala kadarnya. Dengan intelektualitas yang dimilikinya, Dipo mampu memecahkan masalah-masalah pelik dunia kemahasiswaan tanpa harus terjerumus pada pragmatisme yang dangkal sebagaimana tokoh-tokoh gerakan mahasiswa kekinian.
Banyak tokoh baik itu pejabat publik, politisi, intelektual, kalangan tokoh militer, budayawan serta birokrat. Semua memberikan pandangan yang sama dan sebangun. Peneliti dan intelektual senior seperti Fachry Ali misalnya melihat tokoh Dipo Alam sebagai dua sisi mata uang yang iconik. Dimata Fachry Ali, Bang Dipo Alam, begitu biasanya saya memanggilnya adalah "role model" sekaligus mentor politik bagi adik adik Juniornya, termasuk dirinya. Pandangan Fachry itu tidaklah berlebihan karena pada saat yang sama Budayawan gaek sekelas Ridwan Saidi juga memperkuat penilaian atas Dipo sebagai sosok panutan.
Bagi Ridwan Saidi, Dipo Alam adalah tokoh yang istimewa dalam sejarah gerakan mahasiswa. Dipo dinilai sebagai anak Universitas Indonesia (UI) sekaligus aktivis HMI yang sangat beradab.
"Bagi saya Adab itu adalah hal yang esensial, yang sulit saya jumpai lagi dalam pentas politik Indonesia sekarang ini," cetus Ridwan Saidi yang masa mudanya ia habiskan dalam dunia politik dan pergerakan mahasiswa itu.
Adab dalam pemahaman Ridwan adalah perkara Akhlak politik. Ia akan mewujud dalam etika pergaulan sehari-hari. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Dipo sangat mampu membawa dirinya dalam berbagai situasi; apakah ketika dia sedang dipimpin atau disaat dia sedang memimpin.
Sosok Solidarity Maker
Dikalangan aktivis sejamannya, Dipo memang terbilang excellent. Ia dinobatkan sebagai sosok yang memiliki jiwa kesetiakawanan (solidarity maker) yang sangat tinggi. Dipo tidak memandang kawan itu darimana asalnya, latar belakang agama, background organisasinya atau apapun suku bangsanya. Bahkan ia diyakini sebagai seorang pluralis sejati. Setidaknya penilaian itu keluar dari mulut Maruli Gultom, seorang Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Kristen 1975/1976.
Maruli Gultom yang sempat menjabat Rektor Universitas Kristen Indonesia (2008-2012) juga berujar, saya menyaksikan, saya tahu persis, Dipo itu hanya mengabdikan dirinya kepada bangsa, bukan kepada atasan atau individu. "Saya juga bersaksi bahwa Dipo itu juga seorang nasionalis sejati," tegas Maruli dengan nada mantap.
Secara pribadi Maruli memiliki pengalaman yang spesial. Suatu ketika Maruli dijebloskan kedalam penjara militer yang gelap gulita Bekasi pada Januari 1978 dengan pintu dan jendela yang ditutup mati. Namun Dipo nekad mendatangi Maruli ditengah malam dengan mengetuk jendela. "Saat itu Dipo berusaha menenangkan dan menyemangati saya dan memberi tahu bahwa besok pagi paku-paku itu akan dicabut kembali oleh petugas Laksusda.
Ada beberapa hal lain yang memahat rasa kesetiakawanan Dipo pada Maruli. Namun tidak cukup ruang untuk diceritakan disini.
Tokoh yang Bersih
Dipo tidak sekadar sosok yang setia pada kawan seperjuangan. Namun yang lebih penting lagi ia dikenal sebagai sosok yang bersih. Penilaian itu muncul dari Ekonom kelas dunia Profesor Iwan Jaya Azis yang banyak memperkenalkan konsep ekonometrik dalam mengkaji dinamika ekonomi nasional kita. Dimata Iwan Jaya Azis, yang saat ini masih mengajar di Cornell University itu, Dipo merupakan tokoh yang bersih.
"Saya yakin Dipo orang yang bersih, namun sebagai bagian dari lingkungan birokrasi yang besar, dia mengetahui ada rekannya yang haus kekuasaan. Namun dia memilih menjauh dari temannya yang rakus kekuasaan dan korup itu," tegas lelaki asal Pamekasan Madura itu.
Menurut Iwan Jaya, Dipo mampu menjaga integritasnya karena dia memiliki wawasan yang baik tentang masa depan bangsanya. Disitu, Dipo menjadi tidak mudah tergiur oleh materi yang ia yakini tidak akan dibawa mati.
Oleh karena itu, didalam perjalanan hidupnya, Dipo selalu mengambil posisi yang kritis terhadap kekuasaan. Sebab kekuasaan membutuhkan rem yang pakem agar tetap on the right track. Pandangan ini yang diinsyafi benar oleh rekan karibnya sesama aktivis gerakan yakni Hariman Sirega
"Dipo selalu konsisten terhadap gerakan mahasiswa sebagai moral force dalam memperjuangkan amanat penderitaan rakyat, sekaligus selalu lantang mengoreksi kekeliruan pemerintah," jelas Hariman Siregar.
Lukisan dan Diplomasi
Yang luput dari pengamatan banyak pihak adalah soal kegemaran Dipo Alam dalam melukis. Sebagai tokoh intelektual dan birokrat yang berbudi halus, Dipo ternyata memiliki hobi dan kemampuan melukis. Melukis dimata Dipo tidak sekadar sebagai media ekspresi dia berkesenian. Namun lebih jauh dari itu, lukisan karya seninya ia "peralat" sebagai "Tool of Diplomacy". Banyak sekali tokoh dunia yang menjadi objek lukisan Dipo. Berdasarkan informasi yang saya himpun melalui percakapan kecil dengan sopir pribadinya terungkap bahwa Dipo selalu menggunakan waktu senggangnya untuk melukis di lantai atas.
"Mungkin melukis bagi bapak seperti sedang rekreasi, melepas penat menjalani aktivitas yang masih padat," tutur seorang sopir pribadi suatu saat disela-sela bosnya mengikuti diskusi Reboan di Institut Peradaban.
Beberapa tokoh dunia yang pernah dilukis Dipo Alam antara lain Presiden Turki Abdullah Gul dan istrinya Hayrunnisa. Berkat lukisan tersebut Dipo mampu membuat hubungan baik dengan Presiden Turki. Hubungan baik itu berarti aakan berdampak pada harmoni diplomasi antara kedua negara. Lukisan Dipo itu sempat menjadi headline pada berbagai surat kabar dan media elektronik di Turki.
Dipo tidak hanya melukis tokoh, namun peristiwa penting kemanusiaan seperti kasus Tsunami di Aceh dan Tohoku di Jepang juga menjadi bahan untuk melukis. Lukisan itu ternyata ia lelang dan hasilnya disumbangkan untuk korban Tsunami di Jepang. Lukisan itu ia serahkan kepada mantan Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda bersamaan dengan kunjungan Presiden SBY ke Tokyo pada 11 Juni 2011 lalu. Jadi ditangan Dipo Alam, lukisan karya itu bisa dijadikan media diplomasi antar negara. Dipo menyeret aktivitas berkesenian itu kedalam diplomasi politik dunia dengan cara yang artistik. Itulah yang dalam diplomasi dikenal sebagai "soft diplomacy."
Rasa-rasanya pertanyaan Fachry Ali soal keheranan dia melihat Dipo yang selalu kritis terhadap kekuasaan, namun pada saat tertentu bisa terkerek dalam pusaran kekuasaan terutama selama Presiden SBY menemukan jawabannya. Dipo memang bukan sekadar sosok yang kritis terhadap kekuasaan, namun dia juga dapat menunjukkan kemampuan teknokratik saat bersama dalam kekuasaan.