Bela Kepentingan Umat yang Lebih Besar, Muhammadiyah Tidak Lembek
Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, pada setiap masalah strategis nasional, kebangsaan dan keumatan, Muhammadiyah selalu bersikap tegas dengan mengedepankan ilmu, hikmah dan maslahat.
Namun, oleh sebagian kecil di kalangan umat, ketegasan Muhammadiyah itu masih sering dianggap kurang keras dalam memposisikan diri terkait representasi umat.
Haedar Nashir seraya mengutip penilaian orang lain. “Muhammadiyah sekarang sudah tidak seperti Muhammadiyah yang dulu. Rindu Muhammadiyah yang dulu”, demikian ungkapan yang sering mereka sampaikan.
Menyinggung hal itu, Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah sejak awal hingga kini tidak pernah berubah dalam bersikap secara adil dan tegas dengan mengedepankan pencerahan dan hikmah.
Meskipun memiliki kekuatan untuk melakukan pendekatan lebih tegas, Muhammadiyah menurutnya tidak akan pernah menggunakan ruang tersebut menimbang maslahat dan madharat yang lebih besar.
“Jika mau cara-cara ekstrem Muhammadiyah bisa saja, tapi akan goncang negeri ini. Kami tidak akan menggunakan ruang ini karena tidak maslahat,” tutur Haedar, terkait pelaksanaan Munas Majelis Tarjih, dikutip Selasa 24 November 2020.
Alih-alih memilih cara pendek, Muhammadiyah menurut Haedar lebih memilih cara-cara jangka panjang yang mengakomodasi peradaban Islam meski lambat dan tidak populer.
“Kalau kami bangun sekolah, rumah sakit, datang ke pelosok-pelosok itu komitmen kami membangun peradaban dari pusat-pusat keunggulan yang memajukan dan mencerdaskan. Itu bukan rutinitas, tapi agenda kita,” jelasnya.
Tugas membersamai umat dengan cara membangun pusat-pusat keunggulan menurutnya lebih sulit daripada sekadar membuat gerakan kolosal.
“Mungkin tidak populer dibandingkan mengumpulkan masa di alun-alun yang Muhammadiyah juga bisa. Tapi itu komunalitas yang membuat kemajuan tertahan,” ujarnya.
Haedar tidak memungkiri gejala ekstrim dan kejahiliyahan di akar rumput muncul sebagai kesenjangan akibat pemerintah tidak optimal dalam menggarap kesejahteraan publik.
Karena itu komitmen Muhammadiyah semakin kuat untuk mencerdaskan umat dan memberdayakan mereka hingga berdaulat dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya.
“Boleh jadi (pilihan ekstrim) itu menyenangkan sesaat, karena mafsadatnya lebih besar. Pertaruhan besar ini tidak bisa diambil oleh kita. Maka kita tawarkan, biarpun jalan ini panjang. Kami tidak ingin menawarkan beragama yang instan,” imbuh Haedar.
“Terakhir, agama tidak bisa lepas dari realitas, kehidupan ekonomi, politik, budaya dan global. Karena itu menerapkan nilai-nilai agama yang mencerahkan itu bertemali dengan kondisi kita. Di saat seperti itu, kalau kami mengambil posisi tawasuth itu memang semestinya,” kata Haedar.
Advertisement