Bekapan Bangkrut di Ufuk
Rabu lalu, seorang teman melawat ke rumah. Masih muda, dia tinggal di Bekasi. Pekerjaannya, sebagai pengembang perumahan. Pemain kecil di seputaran Jakarta.
Dulu dia bekerja di perusahaan properti besar. Yang namanya terinpirasi dari tokoh utama, serial Api di Bukit Menoreh, karya S.H. Mintardja. Setelah merasa ilmu perpropertian cukup, dia nekad bikin sendiri.
Mirip nyantrik di sebuah perguruan silat. Lantas naik kelas jadi murid mula. Setelah perjalanan ilmu cukup, nekad bikin padepokan sendiri. Mulai mencari cantrik dan murid.
Entah mengapa, lanskap properti Indonesia, banyak terinpirasi dari Api di Bukit Menoreh. Sebuah perusahaan properti besar di Surabaya, namanya jelas juga terinpirasi dari serial ini.
Yang dipakainya, adalah dusun tempat tinggal Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir. Namanya, Pakuwon. Nah, Kiai Gringsing ini guru Agung Sedayu. Yang namanya dipakai jadi brand properti yang berpusat di Jakarta itu.
Saya sempat meminta teman muda itu mengganti nama perusaahannya dengan Jati Anom. Kalau ini, tanah kelahiran Agung Sedayu. Atau nama yang agak mentereng, Mandaraka. Dia Patih Kerajaan Mataram, di masa Panembahan Senopati berkuasa.
Namun, anak muda ini menggeleng. Dia kukuh, tidak mau mengubahnya. Tetap pakai nama yang lama saja.
"Kenapa?" tanya saya. Siapa tahu ganti nama bisa bikin usaha moncer. Karena saya tahu, obrolan kami siang itu, tak akan jauh dari urusan masalah.
Setidaknya, saya sudah urun saran. Karena urun uang, masalahnya dia jadi masalah saya. Karena banyak perusahaan mengubah brand juga berpengharap ada perubahan rejeki.
Saya juga berbagi kepadanya, ilmu berganti nama dalam kepercayaan orang Jawa. Bila anak sering sakit-sakitan, orang tuanya segera mengganti nama si anak. Kadang namanya dianggap terlalu berat.
Tidak logis ya? Bisa jadi. Tapi faktanya, setelah diubah namanya, si anak jauh dari penyakit.
Dia hanya tersenyum. "Saya pakai nama istri, buat nama perusahaan saya itu," ucapnya dengan lirih. Oh, kalau sudah urusan istri, memang, saya langsung mengamininya. Jangan membuat masalah yang tak perlu.
"Jangan diganti, nanti tambah lagi," usul saya. Mendengar jawaban itu, dia tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang ada di kepalanya. Apakah urusan kata "tambah" itu membuatnya bahagia.
Padahal maksud saya, tambah bikin perusahaan baru saja. Bukan tambah istri. Kalau ini yang dipilih, sama saja menambah masalah baru.
Urusan nama memang unik, seorang teman di Jawa Timur, memilih nama sungai di Eropa untuk perusaahannya. Namanya Vlatava. Susah mengejanya. Tapi baginya, sungai adalah pemberi rejeki.
Mengairi sawah. Memberi kehidupan. Dari hulu hingga hilir. Tentu saja, harapannya, rezeki terus mengalir tak habis-habis, kalau perlu sampai tujuh turunan.
Oh ya, kembali ke anak muda pengembang tadi. Dia ke rumah, karena memang penjualan bermasalah. Pendek cerita, stok rumah siap pakainya banyak yang belum terjual.
"Lebih dari lima belas biji," katanya masygul. Banyak yang sebelumnya sudah dijadwalkan akad kredit, lantas balik kanan. Membatalkan pembelian.
Alasan sederhana: gara-gara Covid 19. Kondisi ini, membuatnya harus membanting pikir. Serta jungkir balik menerapkan jurus marketing agar rumah-rumah produksinya, laku.
"Sekarang saya kasih diskon sampai Rp 100 juta," ungkapnya. Pilihan pemberian potongan harga, harapnya, jadi mantra paling manjur. Memang, beberapa konsumen, jadi berpikir ulang untuk batal.
Masih ada empat target pembeli yang dia kejar, sampai sebelum lebaran. Sebagian harus sudah berpindah tangan. "Harus dikejar. Juga buat mutar modal," tambahnya.
Yang pasti, pandemi ini membuat dia was-was. Bahkan setengah gila. Harus memikirkan karyawan, juga kelangsungan usaha.
Teman muda ini memilih pasar menengah bawah. "Saya lebih suka membangun rumah satu lantai. Cepat laku. Juga membantu para pekerja pabrik bisa punya rumah," paparnya panjang lebar.
Memang, untuk kawasan timur Jakarta raya, konsumen yang disasarnya, para pekerja pabrik. "Kini, sebagian pabrik sudah tutup," ucapnya. Tentu saja, pendapatan para pekerja berkurang.
Mungkin kini, hanya mengandalkan tabungan untuk menyambung hidup. Agar para pekerja pabrik itu bankable buat kredit kepemilikan rumah (KPR), catatan rekeningnya harus bagus.
Dibutuhkan tiga bulan catatan rekening. Tentu harus dibuat bagus. Agar bank mau mengucurkan kredit.
Masalahnya, dengan pabrik ditutup, para karyawan tak lagi dapat uang lembur. Bahkan, bisa jadi, gaji yang diterima hanya setengah. Itu memang lebih baik dibanding kena pemutusah hubungan kerja.
Namun, banyak pekerja yang sudah punya banyak cicilan lainnya. Dari kendaraan, hingga kebutuhan lainnya. Tentu saja, dengan kondisi ini, mereka hanya fokus memastikan pendaringanya, tidak mengelimpang.
Bahkan, mulai banyak pekerja pabrik, yang mengembalikan rumah ke bank pemberi KPR. Mereka sudah tak kuat lagi meneruskan cicilan. Akhirnya memilih menyerahkan rumahnya.
"Beberapa pembeli saya, tak kuat lagi nyicil," jelasnya dengan mata sendu. Padahal mereka sudah membayar cicilan beberapa kali. "Sebenarnya kasihan," tambahnya.
Namun, kondisi susah juga tetap jadi tantangan. Dia tetap akan membuka cluster baru. Karena berkarya, juga suatu cara melawan kesusahan.
Jika hanya diam, tak menyelesaikan masalah. Berkarya dan bekerja, membuatnya dilingkupi harapan. Ada sesuatu yang terus dikejar.
Kondisi tak menentu memang menghantui banyak orang. Beberapa pedagang kaki lima yang saya temui, selalu berkirim nada seirama. "Jualan susah sekali," keluh mereka.
Kalau tidak, ini jawaban yang selalu ada. "Uang modal jualan, kadang ngga kembali," tutur mereka. Yang menarik, mereka masih yakin dan berusaha.
Selalu ada nada sedih. Tapi, sinar mata mereka berkata sebaliknya. Masih ada asa, walau entah di mana.
Namun, eratnya cengkeraman Covid -19 membuat semua orang harus berencana. Tak bisa lagi, apa rasanya. Memang, di masa susah, yang juga sangat diperlukan adalah kekuatan jiwa.
Tak bisa lagi mengharapkan belas orang. Harus ada ketabahan juga keyakinan. Kita sendiri yang harus bergerak mendobrak penghalang.
Tapi, kalau tidak kuat, ya lemparkan handuk di muka saja. Karena bangkrut sudah menunggu di ufuk.
Ajar Edi,
Kolomnis Ujar Ajar.