Pura Umat Hindu Berubah Jadi Musala di Bejijong, Mojokerto
Musala serupa pura ini berlokasi di desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Lokasinya sendiri tak jauh dari tempat wisata Patung Budha Tidur dan Candi Brahu. Terdapat gapura hitam bercorak lengkungan bunga khas Mojopahit serta ukiran pagar depan dan samping berwarna kuning keemasan. Lengkap dengan material bahannya yang tersusun dari batu-bata, atap musala juga berhias relief.
Musala Bejijong awalnya adalah pura yang digunakan umat Hindu untuk beribadah. Namun, pada tahun 2002 oleh pengurus pura yang kala itu Rai Sudharya Agung dan Purbarini dijual ke pondok pesantren (ponpes) milik thoriqoh As-Shiddiqiyyah.
Sejak pura berpindah tangan, seorang juru kunci bernama Du’in ditugaskan untuk menempati rumah di belakang musala. Selain itu, meski pura sudah dibeli ponpes, bangunan pura masih kokoh berdiri hingga tahun 2004. Saat itu pun beberapa umat Hindu yang bertolak dari Bali dan Lampung beribadah di dalamnya.
“Pura sudah dibeli Shiddiqiyyah sejak 2002 dari tangan Eyang Purbarini, tapi sampai 2004 masih berbentuk pura. Selama itu masih ada umat Hindu datang dari Bali dan Lampung untuk sembahyang, saya perbolehkan saja” kata Du’in kepada Ngopibareng.id, pada Jumat 29 Mei 2020.
Ternyata mereka yang dari luar kota itu tidak mengetahui jika pura sudah dibeli pihak lain. Sementara itu, pada 2005 bangunan pura sudah dirombak menjadi musala dengan pembangunan secara bertahap. Pembangunannya sendiri dilakukan oleh jamaah Shiddiqiyyah yang berada di sekitar wilayah Mojokerto.
Yang menarik, ada beberapa bekas bangunan pura yang masih dipertahankan keasliannya sebagai bukti sejarah. Antaralain pagar, gerbang pintu masuk, dan kedua kolam pada sisi kiri dan kanan.
Sementara itu, kendati pembangunan musala belum sempurna, sejak tahun 2005 warga sekitar dan jemaah Shiddiqiyah sudah memfungsikan musala sebagai tempat ibadah. Musala baru benar-benar selesai pembangunan dan pengecatan pada 2018.
Sayangnya hingga saat ini musala masih belum memiliki nama. Kendati demikian, musala yang berluaskan 12 meter persegi itu mampu menampung sekitar 100 orang. “Sejak dibangun tahun 2005 sudah difungsikan sebagai tempat untuk beribadah. Pengecetannya baru selesai akhir-akhir ini, sekitar tahun 2018” tambahnya.
Du’in dan istrinya, Erni Wahyuni menyapu dan mengepel lantai pada waktu yang tidak terjadwal. Selain itu mereka juga merawat kebun buah naga dan pohon mangga. Serta rumah samping tempat tinggal mereka yang biasa digunakan pemimpin thoriqoh beristirahat kala berkunjung.
Lambat laun, warga penduduk desa mendirikan musala dan masjid secara masif. Sehingga, untuk saat ini musala tanpa nama itu digunakan beribadah Du’in dan sang istri.
Terbuka Untuk Umum
Walau kepemilikan musala atas nama ponpes Shiddiqiyyah, musala ini terbuka untuk umum. Umat muslim dari mana pun boleh menggunakannya. Seringnya yang salat di situ selain Du’in dan Erni adalah orang luar Bejijong yang lewat dan mampir untuk salat.
Du’in memperbolehkan jika ada warga sekitar yang akan menyelenggarakan kegiatan kecil-kecilan pada area musala. Namun, jika acara yang diselenggarakan merupakan acara besar, tentu dibutuhkan izin dari pemimpin Thoriqoh Shiddiqiyah.
“Ini terbuka untuk umum, siapapun boleh salat. Selain itu jika ada warga mau mengadakan kegiatan kecil-kecil an ya monggo saja” ujarnya.
Setiap tahunnya sendiri, selain digunaka untuk beribadah, musala juga berfungsi sebagai tempat untuk berkumpulnya jamaah thoriqoh. Misalnya saja untuk kegiatan rutinan mereka. Seperti santunan sembako dan uang untuk warga sekitar, doa rutinan, dan peresmian pembangunan Rumah Layak Huni (RLH). Di luar itu, kegiatan membaca mocopat juga pernah digelar di area sekitar musala sejak dua tahun terakhir.
“Musala biasanya dimanfaatkan jamaah untuk kegiatan rutinan thoriqoh. Namun selain itu sempat juga digunakan untuk pembacaan mocopat sudah sejak 2018” tutupnya.