Bejijong, Desa Sentra Patung Kuningan di Mojokerto Sejak 1967
Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, amat terkenal dengan industri cor kuningannya. Di desa ini, terdapat 40 perajin dengan hasil produksi berupa patung Buddha, replika candi, serta berbagai cinderamata yang terbuat dari logam kuningan.
Desa Bejijong, Mojokerto ini menjadi sentra kerajinan patung kuningan sejak 1967. Produk lokal warga sekitar banyak diminati turis mancanegara.
Masa Keemasan Desa Bejijong
Sekretaris Desa Bejijong, Agus Kasiyanto mengatakan kerajinan patung kuningan di kampung Majapahit itu sudah ada sejak tahun 1967. Ketika itu, warga Belanda yang singgah di kampung itu menularkan ilmunya kepada salah seorang warga bernama Sabar.
Ilmu yang didapatkan oleh Sabar ditularkan ke warga sekitar dengan cara memperkerjakan di tempat kerajinan patung kuningan miliknya. Berbekal pengalaman yang didapatkan dari Sabar pun warga banyak yang membuka usaha kerajinan patung sendiri.
Hingga pada tahun 1998-2000 bisnis kerajinan ini pun mulai berkembang pesat. Bahkan, mereka juga mampu membuat patung berbahan tembaga, perunggu dan perak. "Pada masa keemasan tahun 1998-2000 ada 200 perajin. Sekarang tinggal 40 perajin saja, yang lain sudah gulung tikar," terang Agus, Minggu 27 Maret 2022.
Sejak kelas 2 SMP, Agus sudah mengenal seluk beluk industri cor kuningan. Ini semua karena orangtuanya sudah menggeluti bidang tersebut dari 1970-an. Setiap pulang sekolah, Agus membantu mengerjakan patung kuningan. Ia terjun langsung untuk melihat dan mempelajari proses pembuatannya mulai dari peleburan, pembuatan cetakkan, hingga proses finishing.
Agus mulai menekuni bisnis patung kuningan sejak 1989. Dia melanjutkan usaha sang ayah. Agus biasa memasarkan produknya ke art shop di Bali, Jakarta, Solo dan Yogyakarta. Menurutnya, pada era 1990-an kerajinan patung kepala Buddha sangat diminati konsumen, pesanan pun membanjir.
Namun, hal ini tak berlangsung lama. Ketika krisis moneter menghantam Indonesia pada 1998, para pengrajin cor kuningan di Desa Bejijong turut terkena dampaknya. Harga bahan baku meningkat tajam sehingga para pegiat industri ini kesulitan memenuhinya. Dari 200 orang pengrajin di Desa Bejijong, hanya tersisa 40 pasca orde baru.
Seiring berjalannya waktu, usaha yang ditekuni itu mulai kembali berkembang. Namun, sejak pandemi Covid-19 menyerang Indonesia, usahanya bersama warga yang lain sepi pesanan.
"Sebelum pandemi, omzet saya Rp 60-70 juta per bulan. Setiap bulan kirim sekitar 400-500 patung. Selama pandemi permintaan sangat turun. Saya hanya mengandalkan produk patung edisi terbatas yang jumlahnya hanya 6-10 patung per bulan," ujarnya.
Cara Membuat Patung
Proses pembuatan patung cor kuningan tidaklah mudah, banyak tahapan yang harus memiliki skill khusus dalam mengerjakan. Saat melihat proses produksi patung kuningan di rumah produksi salah satu perajin, Supiyo. Beberapa karyawan terlihat sibuk dengan keahliannya masing-masing di belakang rumah Supiyo.
Dalam pelaksanaan kegiatan pengecoran mutlak memerlukan perangkat yang disebut cetakan. Dan, cetakan patung kuningan dibuat dengan bantuan model berupa patung fiber yang telah dibuat sebelumnya.
Awal pembuatan patung harus membuatmu cetakan terlebih dahulu. Berbahan lilin yang sudah dicairkan dengan campuran khusus, dimasukkan ke dalam cetakan sesuai dengan desain pemesanan. Kemudian dicelupkan ke dalam air dan cetakan pun jadi.
"Cetakan tidak dibuat utuh sekaligus, tapi dibuat dengan banyak potongan. Dibuat cetakan untuk bagian-bagian patung. Supaya memudahkan saat pengecoran," kata Supiyo kepada wartawan.
Cetakan dari lilin itu kemudian dibalut menggunakan pasir. Para karyawan pun mulai menyiapkan panggangan besar untuk membakar cetakan yang sudah dibalut pasir.
Sekitar 3 jam sebelum cetakan selesai dibakar, para karyawan Supiyo juga mulai melebur kuningan menggunakan tungku berbahan bakar elpiji. Butuh waktu 3 jam dan suhu sekitar 800 derajat Celsius untuk melelehkan bahan baku kuningan yang didapatkan dari pengepul rongsokan.
Kemudian, cairan kuningan harus segera dituangkan ke lubang masing-masing cetakan selagi masih panas. Lalu didinginkan. "Setelah dicor (dituang), harus menunggu dingin dulu. Biasanya kalau ngecor sore, saya biarkan sampai besok pagi," jelasnya.
Setelah benar-benar dingin, patung kuningan dikeluarkan dari pasir yang membungkusnya. Dengan cetakan lilin setebal 1 mm, patung yang dihasilkan mempunyai ketebalan sekitar 1,5 mm. "Ketebalan kuningan pada patung minimal 1,5 mm untuk patung setinggi 30 cm, paling tebal 1,5 cm untuk patung besar," tegas Supiyo.
Proses ini pun belum selesai, patung-patung cor kuningan itu harus melalui proses finishing. Karyawan yang mempunyainya skill finishing mulai menghaluskan patung dengan mesin gerinda.
Setelah itu, patung-patung tertentu akan dilakukan pengelasan untuk disambung bagian ekor, tubuh dan kepalanya.
"Pengelasan juga untuk menutup permukaan patung jika ada yang berlubang. Selanjutnya ditoner untuk menghilangkan kerak-kerak hitam pada lekukan permukaan patung, lalu dihaluskan lagi," bebernya.
Masih ada satu kali proses lagi yaitu pewarnaan. Ada puluhan macam warna yang digunakan. Warna itu pun dihasilkan dari air keras yang dicelupkan pada patung lalu dibakar. Semua jenis warna pun masing-masing membutuhkan teknik pewarnaan yang berbeda.
"Selanjutnya, seluruh permukaan patung disembur dengan api sekitar 1 menit, lalu dibersihkan menggunakan kuas dan air. Terakhir, permukaan patung diamplas," ungkapnya.
Dukungan Desa
Kepala Desa Bejijong, Pradana Tera Mardiatna mengatakan, pemasaran patung kuningan dilakukan secara offline. Yaitu mengandalkan jaringan toko senin/artshop di Bali, Jakarta, Solo dan Yogyakarta, serta dari mulut ke mulut.
"Ke depan kami kumpulkan melalui BUMDes Wijaya. Rencananya kami buatkan marketplace (toko online) sendiri untuk kami bantu pemasaran secara online," tandas Pradana.
Advertisement