Nasib Pengrajin Patung Desa Bejijong Mojokerto di Tengah Corona
Desa Bejijong Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto tidak jauh dari tempat wisata patung budha tidur dan candi Brahu.
Desa yang menjadi saksi sisa peninggalan kerajaan Majapahit itu rupanya memiliki banyak home stay untuk wisatawan. Selain itu dikenal juga sebagai desa para pembuat patung.
Sejak tahun 1976, sekitar 60 kepala keluarga bekerja sebagai pembuat patung. Sayangnya, seiring berjalannya waktu jumlah pembuat patung menyusut. Hingga saat ini hanya tersisa 20 kepala keluarga saja.
Mujali Sodah, salah satunya penjual patung di desa Bejijong meneruskan usaha usaha milik orang tuanya sejak tahun 1970-an. Namun, Sodah tidak menjual patung-patung dari batu, melainkan pusaka seperti keris. Selain itu mahkota, bataka dan tokoh pewayangan.
Ia sebenarnya juga menekuni dunia pepatungan dari batu, namun ia lebih memilih motif hewan ketimbang patung manusia.
“Usaha ini milik kedua orang tua saya dan sudah ada sejak tahun 1976. Kami lebih banyak menjual pusaka dibandingkan patung," kata Sodah kepada Ngopibareng.id, 1 Juni 2020.
Patung dan pusaka yang jual terbuat dari tiga bahan. Seperti perunggu, emas, kuningan dan perak.
Harga patung disesuaikan dengan ukuran, motif dan tingkat keruwetan pembuatannya. Paling murah dibanderol Rp4 ribu, sedangkan aling mahal bisa lebih dari Rp2,5 juta.
Setiap bulannya Sodah menghabiskan bahan sekitar 2 kwintal rongsokan kuningan. Kuningan ini dibentuk menjadi beberapa pusaka dan patung sesuai pesanan pelanggan.
Sementara untuk promosi, Sodah lebih banyak memanfaatkan media sosial yakni Facebook dan WhatsApp. Hingga saat ini pembelinya sudah tersebar di beberapa kota besar Indonesia, antara lain Surabaya, Jakarta, Jogjakarta, Solo, Malang, Blitar dan Cirebon.
Sebelum pandemi corona, omzetnya per bulan rata-rata mencapai Rp5 juta. Bahkan, kalau lagi ramai dalam dua minggu bisa menghasilkan Rp30 juta.
Namun, semenjak virus Sar-Cov-2, usahanya macet. Bahkan, dua bulan lebih tidak ada pemasukan. Pemesan sangat minim. Bahkan banyak pelanggan yang membatalkan pesanan.
Kendati demikian, Sodah bersyukur lantaran mendapat bantuan dari pemerintah karena termasuk salah satu warga yang pekerjaannya terdampak covid-19.
“Dulu sebelum muncul corona, pesanan ramai. Tapi setelah ada corona ini penghasilan tak ada. Beruntung, kemarin dapat bantuan dari pemerintah karena termasuk yang terdampak,” katanya.
Nasib yang sama juga dialami Suwandhi, pemilik usaha patung yang merangkap sebagai Ketua RT. Ia juga mengeluh dampak corona.
Sejak ada corona usahanya sepi. Sekarang, dalam membuat patung hanya menghabis 2 kwintal bahan baku kuningan dan perunggu. Kadang juga tidak sampai habis.
"Sejak pertengahan Maret itu penghasilan turun 80 persen. Banyak pesanan patung yang dibatalkan, karena usahanya tutup," katanya.
Padahal, katanya, sebelum ada corona ini dalam sebulan bisa menghabiskan 2 ton bahan baku. Pemesannya pun dari dalam negeri dan luar negeri. Ada dari Spanyol, Yunani, dan lain sebagainya.
"Kalau pemesan dari dalam negeri mayoritas dari Bali. Mayoritas pelanggan saya ada di Bali. Kita kirim ke pengepul di sana. Ini mau ngirim ke Spanyol tapi batal karena corona," katanya.
Berbeda dengan patung milik Sodah. Patung milik Suwandhi ini memiliki 500 lebih motifnya. Di antaranya seperti motif dewa, yaitu ada ganesha, brahma, wishnu, saraswati, naga, dan binatang lainnya. "Agar bisa bertahan saya bikin patung dewa dan khas majapahitan," katanya.
Patung buatan Suwandhi ini berbahan baku emas, perak, kuningan dan perunggu. Tentu, harganya pun berbeda. Tergantung dari ukuran, bentuk dan tingkat kerumitan pembuatannya. Paling mahal dibanderol Rp7.5 juta, sedangkan paling murah Rp10 ribu.
Untuk cetakan patung, Suwandhi biasa memakai cetakan dari semen dan karet. Kedua bahan ini dipilih lantaran memiliki kelebihan.
Untuk cetakan berbahan semen ini cepat mengeras, tetapi harganya murah. Sedangkan, untuk bahan karet butuh waktu lama. Dan hasilnya lebih detail.