Begitu Mudahkah Seseorang Disebut Ulama? Ini Standarnya
Selama ini, begitu muda masyarakat menyebut seseorang sebagai ulama. Asal bisa menyampakan dalil, menghafal seayat-dua ayat atau hadits, disebut ustadz. “Saya mohon bisa dijelaskan ukuran atau standar seseorang bisa disebut ulama?”
Demikian pertanyaan Wahab Aminan, warga Jalan Sumatera, Surabaya, pada ngopibareng.id. Untuk menanggapi masalah ini, perlu kiranya dipahami terlebih dulu penjelasan berikut.
“Di antara orang terakhir yang mendapatkan gelar 'al-'Allamah' di Damaskus ada 4 orang. Yakni Syaikh Hasan Habannakeh, Syaikh Zainal Abidin at-Tunisi (adik dari Syaikh Khidr Husein), Syaikh Bahjat Baitar, dan satu lagi aku lupa namanya. Itu terjadi di tahun '60--an. Perlu diingat, Damaskus saat itu menjadi salah satu ibukota keilmuan Islam dunia.
“Nama beken sekelas Syaikh Salih Farfur, Syaikh Abdul Karim Rifai, dan ratusan ulama lain di level mereka tidak mendapatkan gelar tersebut, bukan karena mereka tidak alim, tapi level 'al-allamah' (ulama besar) yang berhak memakai 'surban putih dan ikat pinggang' bukan level sembarangan. Hanya 4 orang dari generasi emas ulama saat itu, dan para ulama lain pun tidak cemburu, karena ada standar yang tertulis untuk mencapai level itu,” tulis Fauzan Inzaghi, seorang yang tengah menempuh pendidikan agama di Timur Tengah, dikutip ngopibareng.id.
Berikut pandangannya tentang standar seorang bisa dinamakan ulama.
Apa standarnya? Yaitu menguasai 12 cabang ilmu, memahaminya, mengaplikasikannya serta mengetahui dan menghapal seluruh dalilnya. Kemudian mempertahankan dalilnya dari kritikan (an-nudhar). Saat tahap itu telah dicapai maka mereka akan diberi gelar al-'allamah oleh ulama yang telah mencapai tahap itu terlebih dahulu.
Sedangkan bagi yang baru mencapai tahap menghapal dan menguasai 12 cabang ilmu, namun hanya satu cabang ilmu saja yang dikuasai dan dihapal setiap detail dalilnya, serta bisa mempertahankannya dari kritikan (an-nudhar), maka mereka dijuluki 'alim saja. Seperti sebutan faqih (dalam fiqih), ushuly (dalam ushul fiqh), adib (bahasa arab), muarikh (dalam sejarah dan sirah), mutakalim (dalam aqidah dan mantiq), muhadis (dalam hadis), mufasir (dalam tafsir), dan qura (dalam ilmu qiraat).
Level di bawah itu dinamakan al-ustadz, yakni mereka yang berhasil menguasai dan menghafal 12 cabang ilmu dan mengaplikasikannya tapi tidak mengapal seluruh dalil dan istinbatnya dengan detail. Intinya belum mencapai tahap an-nudhar. Tapi untuk mencapai level ini saja butuh waktu belasan tahun.
Di bawah itu dinamakan thalib (santri), sedangkan yang belajar satu cabang ilmu secara mendasar disebut mustaqaf (mempunyai wawasan), sedangkan orang biasa disebut awam.
Inilah standar ulama dahulu, makanya Syaikh Hasan Habannakeh ketika ada orang memuji terlalu berlebihan jika ada murid yang cerdas dengan kata "Masyaallah dia seorang alim," beliau menyela "Cukup katakan; thalib yang berbakat," bukan karena tidak mau memuji, tapi beliau sedang mengajari kita untuk menaruh sesuatu pada tempatnya, karena semua gelar itu sudah jelas standarnya.
Seorang tak cerdas atau pintar ngomong saja tidak cukup, bahkan punya wawasan dan bacaan banyak juga tidak cukup untuk dikatakan alim. Tentu ulama melakukan standarisasi ini agar tidak ada orang 'berbaju ulama' yang menipu umat. Kalau tidak, lama kelamaan kepercayaan umat pada ulama akan hilang, karena 'penipu berjubah ulama' menyampaikan agama tidak sebagaimana mestinya sebab kekurangan ilmu.
Gelar-gelar ini tidak hanya milik ulama Damaskus, tapi ada dimana-mana, seperti di Al-Azhar, madrasah Hijaz, dan lain-lain. Sayangnya sejak gelar ini mulai dikikis dengan munculnya gelar baru seperti profesor, doktor, master, license, dan semacamnya, standarisasi keilmuan semakin tidak jelas. Belum lagi kasus jual ijazah, masyarakat mulai tertipu dengan standar baru yang bisa didapatkan bahkan jika kita belajar Islam pada non-Muslim.
Bahkan ada yang modal semangat dan cukup pinter ngomong lalu memakai jubah dipanggil ustaz, belum lagi candaan panggilan ustaz yang membuat gelar al-ustaz jadi bahan obral. Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah apa yang kita lihat hari ini, umat bingung, ustad beneran jadi tidak dipercaya gara-gara ulama jadi-jadian bermodal taplak meja (yang dijadikan sorban -red). Bahkan tak jarang sebagian umat lebih mengidolakan orang yang tak ada sangkut paut dengan keilmuan, karena logika mereka jauh lebih memuaskan dibandingkan dalil dari ulama gadungan. Tapi ingat keduanya tidak mewakili keilmuan Islam.
Saat haji kemarin, aku sempat bertamu dan berjumpa dengan beberapa ulama Hijaz seperti Habib Zain Sumaith, Sayyid Ahmad Salih Ruqaimy, Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki, Sayyid Nabil al-Ghamry, Habib Umar al-Jailany, Habib Umar bin Hafidz dan lain-lain. Selain untuk menyampaikan titipan dari guruku di Damaskus, juga mengambil barakah, doa dan ijazah dari mereka.
Kawanku yang di Mekah, alumni Madrasah Saulatiyah yang membantuku memberi alamat mereka di Mekah memberitahu bahwa di antara mereka ada yang bergelar mufti. Yakni gelar bagi orang yang bertanggung jawab dan berhak untuk memberitahukan hukum Allah pada umat. Aku bertanya dengan agak heran, "Kok banyak banget mufti? Ini ditunjuk oleh kerajaan?" Dia jawab, "Nggak lah, 'kan kamu udah belajar fiqh dan ushul fiqh. Di sana ada syarat-syaratnya." Aku mulai kegirangan, lalu aku bertanya, "Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki termasuk mufti nggak?" Dia menjawab, "Beliau memang alim tapi belum mencapai taraf mufti".
Aku mulai gembira, bukan karena Abuya tidak menjadi mufti, tapi karena orang selevel Abuya dan punya nama besar saja belum mencapai derajat itu. Berarti ada standar tinggi di sini, lalu aku melanjutkan pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya, "Jadi siapa yang menentukan seseorang mufti atau bukan?" Dia menjawab, "Ya mufti-mufti sebelumnya."
Betapa aku kegirangan. Mimpiku selama ini seperti jadi kenyataan, gelar mufti seperti dulu masih ada, bukan mufti yang ditunjuk pemerintah karena alasan politis. Dan ulama Hijaz masih memakai itu.
Aku sangat menginginkan standarisasi ulama itu ada di seluruh dunia, apalagi di Indonesia. Di mana semua orang jadi ustadz, dan semua orang jadi kiai. Modal ganteng, pandai ngomong, bahkan yang nyeleneh dan tidak jelas siapa gurunya pun dianggap kiai. Paling gila, modal surban dan maulidan sudah menjadi al-ustadz, fatwa nyeleneh bin aneh bin membingungkan tersebar pada umat. Belum lagi umat di Indonesia yang mudah heboh, akhirnya terjadilah apa yang terjadi; rasa hormat pada ulama hilang.
Ada orang modal akun facebook pakai surban jadi ustadz bahkan berani menyesatkan ulama yang belajar puluhan tahun. Umat bingung mau ikut siapa. Bayangkan, di Indonesia orang sepertiku saja ada yang manggil ustadz? Entah bagaimana masa depan Islam nantinya. dan sepertinya memang sudah saatnya kita kembali lagi ke masa dimana siapa ulama dan bukan ada standarnya.
Sehingga kita tahu kemana kita harus merujuk untuk bertanya tentang agama kita secara benar dan tidak membingungkan. Hijaz sudah ada, Indonesia kapan?
Fauzan Inzaghi